138-2011. Tinggal Kenangan (Syair Lingkungan)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Alam negeri yang subur telah sekarat menjelang mati.
Generasi zaman ini tak tahu lagi dengan kayu meranti.
Tak tahu kayu tembesu yang kerasnya bagaikan besi.
Pohon-pohon cendana yang harum tak tampak lagi.
Kelak, kicau burung pungguk yang menghias malam telah menghilang.
Bagai kini di angkasa luas tak terdengar lagi pekikan burung elang.
Atau siulan indah burung murai menyambut datangnya siang.
Sungguh alam telah hancur luluh akibat nafsu manusia jalang.
II
Tak terdengar lagi pekikan rimba siamang di tebing-tebing.
Ataupun kodok bernyanyi sambut berakhirnya musim kering.
Dan menyambut pagi melompat-lompat burung Srigunting.
Kini telah hilang keseimbangan alam yang begitu penting.
Adalah kebodohan memindahkan hewan ke taman-taman.
Jadikan manusia yang mulia berubah menjadi pelayan hewan.
Pada makhluk yang lebih rendah derajatnya kita memberi makan.
Sungguh sebuah perilaku aneh dan tak rasional yang menyesakkan.
III
Kalaulah hewan dan tumbuhan bisa bicara.
Mereka akan tertawakan kebodohan manusia.
Hutan yang gratis dibabat habis sampai musnah.
Setelah itu buat hutan lagi keluarkan banyak biaya.
Tebing-tebing dihancurkan dan sungai pun mengering.
Habiskan segalanya dan musnahkan tempat trenggiling.
Tiada lagi embun pagi nan sejuk disaat fajar menyingsing.
Sungai-sungai besar pun mengecil tak lebih seperti siring.
IV
Pergantian musim jadi kacau dan tak harmoni seperti dulu.
Para petani yang tak berdaya hanya bisa menangis pilu.
Tanda-tanda alam untuk awali aktivitas sudah tak tentu.
Musibah yang datang pun sudah tak mengenal waktu.
Semua terjadi karena keserakahan umat manusia.
Yang tak mendengar firman dan bijaknya kata.
Yang lupa bahwa mereka akan menderita.
Akibat perbuatannya yang sesuka-suka.
V
Dalam masa yang tidak lama lagi yang tinggal hanyalah kenangan dan cerita.
Tentang pemandangan alam yang seimbang pernah ada di suatu masa.
Tentang aneka hewan dan tumbuhan yang menjadi penyejuk mata.
Yang dahulu lama bertahan karena semua dengan kitab suci ditata.
Kini, disaat bangun pagi pekatnya udara polusi langsung terasa.
Serangga yang bertahan adalah yang beracun & kebal pestisida.
Hewan-hewan yang bertahan adalah mereka yang lemah raga.
Bumi makin panas dihiasi gedung tinggi dibuat dengan bangga.
VI
Berhati-hatilah manusia bumi kala kesimbangan menghilang.
Makhluk-makhluk ciptaan Allah juga yang bernasib malang.
Hukum Ilahi pun dilanggar dan lakukan apa yang dilarang.
Kelak hanya tinggal bumi yang sekarat kering kerontang.
Peringatan demi peringatan Ilahi telah didatangkan.
Sebagaimana kaum dahulu sebelum dimusnahkan.
Betapa mudah bagi Allah menenggelamkan.
Karena negeri kita ini dikelilingi oleh lautan.
VII
Adalah saatnya untuk kembali.
Patuhi seruan dari kitab suci.
Sebelum datangnya janji hari.
Ketika taubat tak diterima lagi.
Dan yang tinggal hanya sesal.
Di kehidupan akhir yang kekal.
Betapa ratap tak guna bakal.
Karena semuanya sudah final.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Alam negeri yang subur telah sekarat menjelang mati.
Generasi zaman ini tak tahu lagi dengan kayu meranti.
Tak tahu kayu tembesu yang kerasnya bagaikan besi.
Pohon-pohon cendana yang harum tak tampak lagi.
Kelak, kicau burung pungguk yang menghias malam telah menghilang.
Bagai kini di angkasa luas tak terdengar lagi pekikan burung elang.
Atau siulan indah burung murai menyambut datangnya siang.
Sungguh alam telah hancur luluh akibat nafsu manusia jalang.
II
Tak terdengar lagi pekikan rimba siamang di tebing-tebing.
Ataupun kodok bernyanyi sambut berakhirnya musim kering.
Dan menyambut pagi melompat-lompat burung Srigunting.
Kini telah hilang keseimbangan alam yang begitu penting.
Adalah kebodohan memindahkan hewan ke taman-taman.
Jadikan manusia yang mulia berubah menjadi pelayan hewan.
Pada makhluk yang lebih rendah derajatnya kita memberi makan.
Sungguh sebuah perilaku aneh dan tak rasional yang menyesakkan.
III
Kalaulah hewan dan tumbuhan bisa bicara.
Mereka akan tertawakan kebodohan manusia.
Hutan yang gratis dibabat habis sampai musnah.
Setelah itu buat hutan lagi keluarkan banyak biaya.
Tebing-tebing dihancurkan dan sungai pun mengering.
Habiskan segalanya dan musnahkan tempat trenggiling.
Tiada lagi embun pagi nan sejuk disaat fajar menyingsing.
Sungai-sungai besar pun mengecil tak lebih seperti siring.
IV
Pergantian musim jadi kacau dan tak harmoni seperti dulu.
Para petani yang tak berdaya hanya bisa menangis pilu.
Tanda-tanda alam untuk awali aktivitas sudah tak tentu.
Musibah yang datang pun sudah tak mengenal waktu.
Semua terjadi karena keserakahan umat manusia.
Yang tak mendengar firman dan bijaknya kata.
Yang lupa bahwa mereka akan menderita.
Akibat perbuatannya yang sesuka-suka.
V
Dalam masa yang tidak lama lagi yang tinggal hanyalah kenangan dan cerita.
Tentang pemandangan alam yang seimbang pernah ada di suatu masa.
Tentang aneka hewan dan tumbuhan yang menjadi penyejuk mata.
Yang dahulu lama bertahan karena semua dengan kitab suci ditata.
Kini, disaat bangun pagi pekatnya udara polusi langsung terasa.
Serangga yang bertahan adalah yang beracun & kebal pestisida.
Hewan-hewan yang bertahan adalah mereka yang lemah raga.
Bumi makin panas dihiasi gedung tinggi dibuat dengan bangga.
VI
Berhati-hatilah manusia bumi kala kesimbangan menghilang.
Makhluk-makhluk ciptaan Allah juga yang bernasib malang.
Hukum Ilahi pun dilanggar dan lakukan apa yang dilarang.
Kelak hanya tinggal bumi yang sekarat kering kerontang.
Peringatan demi peringatan Ilahi telah didatangkan.
Sebagaimana kaum dahulu sebelum dimusnahkan.
Betapa mudah bagi Allah menenggelamkan.
Karena negeri kita ini dikelilingi oleh lautan.
VII
Adalah saatnya untuk kembali.
Patuhi seruan dari kitab suci.
Sebelum datangnya janji hari.
Ketika taubat tak diterima lagi.
Dan yang tinggal hanya sesal.
Di kehidupan akhir yang kekal.
Betapa ratap tak guna bakal.
Karena semuanya sudah final.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
0 komentar:
Posting Komentar