Oleh
Hamdi Akhsan
I
Wahai Kekasih Allah,...
Setiap kata yang akan kutulis, daku berhenti.
Kuulang dan kuulang berkali-kali namun kuhapus kembali.
Tak sanggup diri yang tiada makna tuliskan keagungan sebuah pribadi.
Yang sepanjang hidup senantiasa agungkan kebesaran Ilahi yang Maha Suci.
Engkau diturunkan kedunia fana dengan ketiadaan kasih sayang seorang ayah.
Diusia muda habiskan waktu bermain di gurun sunyi sebagai gembala.
Berteman bintang-bintang nun jauh di ujung cakrawala.
Renungkan tinggi dan agungnya Sang Pencipta.
II
Sebuah tradisi kesucian diri yang jauh dari pesta pora,
Dan jiwa selembut salju penuh kasih sayang terhadap saudara.
Tegas dan berani nyatakan kebenaran walaupun harus bergelimang darah.
Tak pernah takut pada ancaman dan marabahaya yang setiap saat datang mendera.
Dalam kelahiranmu yang padamkan dahsyatnya kobaran Api Abadi di Kerajaan Persia.
Mengejutkan para Rabi Yahudi yang hijrah ke Madinah untuk mengejar datangnya.
Engkau besar di tengah gurun sepi dari maksiat peradaban oleh Halimatus Sakdiah.
Berteman indahnya penciptaan Ilahi yang belum ternoda tangan-tangan manusia.
Wahai kekasih Allah yang tak pernah letih untuk per juangkan cahaya kebenaran-Nya.
Hidupmu bagai mutiara yang tak pernah pudar sepanjang dunia masih ada.
Setiap tingkah lakumu menjadi teladan utama bagi para pencinta.
Dan ucapanmu acuan pada setiap hamba yang taqwa.
III
sungguh betapa indahnya,
Tatkala hamba yang dicintai-Nya hampir tak tidur bermunajad dengan tangisnya.
Dadanya bergemuruh bagaikan badai ungkapkan kasih dan harap pada khalik-Nya.
Memohon rahmat dan kebaikan selalu beserta umat yang akan ditinggalkannya.
Karena keadaan akhir zaman telah digambarkan Tuhannya didepan mata sucinya.
Sungguh besar cintanya.
Manakala dilihatnya bilal tercekik ditengah himpitan batu panas ditengah gurun.
Airmatanya mengalir sambil sampaikan kelak diakherat akan bersamanya dihimpun.
Dan pada puncaknya dia pun hijrah ke madinah lalui terik dan ganasnya badai gurun.
Sebagai ketaatan dan ridho terhadap perintah kekasihnya yang Maha Pengampun.
IV
Kekasih...
Sholawat dan salam dari umatmu yang hanya sebutir debu.
Yang tiada arti dibanding sahabat dan pengikutmu di masa lalu.
Yang hanya mampu meratap dan merengek pada-Nya sambil tersedu.
Yang hidup dalam peradaban zaman penuh maksiat dan penyimpangan prilaku.
Tatkala hamba coba bandingkan prilaku generasi ini dengan para pendahulu.
Hanya ada kerak dan penyimpangan membuat hamba tertunduk malu.
Bagai bandingkan ringan dan hampanya buih dan padatnya batu.
Atau lambannya kura-kura dengan cepatnya desingan peluru.
Kekasih,
hamba hanya debu,
namun hamba rindu.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
0 komentar:
Posting Komentar