Minggu, 19 Juni 2011

195-2011. Kepada Jutaan Ruyati binti Sapubi.

195-2011. Kepada Jutaan Ruyati binti Sapubi.

                 Oleh
                 Hamdi Akhsan

I
Hari ini kembali kita saksikan sebuah drama kepedihan.
Bela kehormatan  diri harus  akhiri  hidup dengan  pancungan.
Bekerja di negeri jauh demi mencari sesuap nasi agar tak kelaparan.
Sungguh sebuah ironi  setelah lebih enam puluh tahun usia  kemerdekaan.

Dihari ini, masih ada  puluhan Ruyati yang  menunggu hari  datangnya mati.
Karena demi mencari nafkah mereka tak mau menjual kehormatan diri.
Ijazah dan pendidikan yang didapat tak laku di negerinya sendiri.
Sehingga menjadi babu lah pilihan yang mungkin dijalani.

II
Pembantu rumah tangga!penghalusan istilah untuk babu.
Pekerja konstruksi!bahasa lain untuk istilah kuli bangunan tentu.
Perkerja seks komersial!penyesatan istilah untuk lonte sebutan dahulu.
Dan Gratifikasi, mengambangkan istilah sogokan yang kini tak lagi dianggap malu.

Sungguh aneh tatkala rakyat yang harusnya dilayani malah dianggap sebagai beban.
Peraturan tentang buruh berpihak  pada pengusaha yang dianggap tuan.
Suara nyaring minta perlindungan dan  keadilan dianggap  tekanan.
Sebuah negeri yang bergerak ke depan tanpa pastinya tujuan.

III
Kasihan nasib  para wanita pekerja  menggantikan para suami.
Itulah dampak  utama yang muncul  dari gema seruan emansipasi.
Lapangan kerja yang ada jadi makin sempit tersedia untuk kaum laki-laki.
Jadilah tuntunan agama terhadap hak dan kewajiban nafkah tak relevan lagi.

Hari ini ruyati digantung, besok lusa ratusan ruyati lain juga  akan digantung.
Ada tenaga kerja yang lalui nasibnya di negeri orang dengan beruntung.
Namun banyak yang lalui penderitaan dengan tangis meraung-raung.
Padamu  pemimpin, mengapa  atas kegagalan  tidak merenung.

IV
Diberbagai negeri ratusan ribu Ruyati bin Sapubi kini tersebar.
Bekerja diberbagai sektor  memburu manisnya  uang rial dan dolar.
Anak yang butuh kasih sayang dititipkan pada orangtua atau terlantar.
Semua terpaksa  karena tak sanggup  lagi hidup miskin dan menahan lapar.

Kapankah  negeri ini akan mampu ciptakan lapangan kerja untuk rakyatnya.
Sedang pemegang amanah tiap hari tunjukkan hidup bermegah-megah.
Tak malu ditonton jutaan rakyat jadikan hukum sebagai sandiwara.
Itulah sebuah ciri sebuah negeri menjelang datang malapetaka.

Al Faqiir


Hamdi Akhsan

0 komentar:

Posting Komentar