195-2011. Kepada Jutaan Ruyati binti Sapubi.
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Hari ini kembali kita saksikan sebuah drama kepedihan.
Bela kehormatan diri harus akhiri hidup dengan pancungan.
Bekerja di negeri jauh demi mencari sesuap nasi agar tak kelaparan.
Sungguh sebuah ironi setelah lebih enam puluh tahun usia kemerdekaan.
Dihari ini, masih ada puluhan Ruyati yang menunggu hari datangnya mati.
Karena demi mencari nafkah mereka tak mau menjual kehormatan diri.
Ijazah dan pendidikan yang didapat tak laku di negerinya sendiri.
Sehingga menjadi babu lah pilihan yang mungkin dijalani.
II
Pembantu rumah tangga!penghalusan istilah untuk babu.
Pekerja konstruksi!bahasa lain untuk istilah kuli bangunan tentu.
Perkerja seks komersial!penyesatan istilah untuk lonte sebutan dahulu.
Dan Gratifikasi, mengambangkan istilah sogokan yang kini tak lagi dianggap malu.
Sungguh aneh tatkala rakyat yang harusnya dilayani malah dianggap sebagai beban.
Peraturan tentang buruh berpihak pada pengusaha yang dianggap tuan.
Suara nyaring minta perlindungan dan keadilan dianggap tekanan.
Sebuah negeri yang bergerak ke depan tanpa pastinya tujuan.
III
Kasihan nasib para wanita pekerja menggantikan para suami.
Itulah dampak utama yang muncul dari gema seruan emansipasi.
Lapangan kerja yang ada jadi makin sempit tersedia untuk kaum laki-laki.
Jadilah tuntunan agama terhadap hak dan kewajiban nafkah tak relevan lagi.
Hari ini ruyati digantung, besok lusa ratusan ruyati lain juga akan digantung.
Ada tenaga kerja yang lalui nasibnya di negeri orang dengan beruntung.
Namun banyak yang lalui penderitaan dengan tangis meraung-raung.
Padamu pemimpin, mengapa atas kegagalan tidak merenung.
IV
Diberbagai negeri ratusan ribu Ruyati bin Sapubi kini tersebar.
Bekerja diberbagai sektor memburu manisnya uang rial dan dolar.
Anak yang butuh kasih sayang dititipkan pada orangtua atau terlantar.
Semua terpaksa karena tak sanggup lagi hidup miskin dan menahan lapar.
Kapankah negeri ini akan mampu ciptakan lapangan kerja untuk rakyatnya.
Sedang pemegang amanah tiap hari tunjukkan hidup bermegah-megah.
Tak malu ditonton jutaan rakyat jadikan hukum sebagai sandiwara.
Itulah sebuah ciri sebuah negeri menjelang datang malapetaka.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
0 komentar:
Posting Komentar