Kamis, 13 Januari 2011

6-2011."KIDUNG SESAL SEORANG ANAK DURHAKA"

6-2011.  Kidung Sesal Seorang Anak Durhaka

              Oleh
              Hamdi Akhsan.


I
Nafas tersengal menatap langit,
sekujur tubuh terasa sakit,
membiru daging berbalut kulit,
mulut terkunci sulit menjerit.

Terasa dada dihimpit bukit,
tarik nafaspun begitu sulit,
sampai matapun harus terjelit,
tiada jeda walau sedikit.

sudah berbulan terkapar sakit,
segala telah habis walau diirit,
yang tinggal hanya potongan jarit,
sungguh diakhir begitu pahit.

II
Tuhan...
Hamba-Mu ini sudah terkulai,
rindukan ibu mau membelai,
menyesal daku mengapa lalai,
ayah dan bunda sering diabai.

Malaikat maut-Mu kini telah sampai,
membawa gada membawa rantai,
acung padaku untuk dipakai,
sebagai balas dosa sesuai.

Terbayang kelak usus terburai,
rambut yang rontok berhelai-helai,
daging dan tulang tercerai berai,
karena buruknya amal dinilai,

III
Ibu...
Betapa diri ingin tiarap,
maaf dan ampun sungguh kuharap,
sakiti engkau dalam bersikap,
tak tunduk hati dalam menatap.

dihari ini daku meratap,
abadi azab pastilah tetap,
tak mungkin lagi kudapat maaf,
ibu telah tidur dikubur gelap.

Terbayang saat tubuhku tegap,
jabatan ada hartapun mantap,
mobil yang bagus indah mengkilap,
ternyata buat diriku silap.

IV
Engkau dikampung tinggal sendiri,
setelah ayah hadap Ilahi,
semua dikerja seorang diri,
tanpa mengeluh setiap hari.

Setiap ananda ingin menjemput,
selalu kerja banyak menuntut,
fikiran ananda yang carut marut,
niat menjemput tidak terwujud.

Terhadap itu ibunda diam,
perih di hati begitu dalam,
menangis sendiri ditengah malam,
serahkan diri ke Penguasa Alam.

V
Ternyata semua berbuah sesal,
memang terjadi semua bakal,
bunda dikampung sudah meninggal,
menangis diri bak hilang akal.

Teringat kecil watak yang nakal,
membuat hati ibunda kesal,
bolos sekolah secara massal,
saat kuliah minta tambah bekal.

Ketika gaji sudah setimpal,
uangpun ada sebagai modal,
ingin berkirim seringlah batal,
karena niat lemah diawal.

VI
Setelah bunda telah tiada,
menangis daku sesak didada,
dipacu tinggi iman didada,
tapi semua sebentar saja.

Kembali diri ke tengah kota,
sibuklah diri kerja ditata,
waktu berlalu terus ternyata,
digapai sungguh apa dicita.

Iman yang naik kembali rendah,
semua berjalan begitu mudah,
ternyata hidup bagaikan roda,
segala sudah catatkan qadha.

VII
Ketika umur makin bertambah,
Jalannya hidup mulai berubah,
resahlah diri tak bisa cegah,
perlahan-lahan dicabut berkah.

Anak dirumah sesuka-suka,
kata yang muncul membawa luka,
masih didunia sudah berduka,
itu balasan anak durhaka.

Menyesal diri tak ajak bunda,
dalam mendidik memakai dada,
kata yang lembut bagaikan nada,
membuat sejuk hati ananda.

VIII
Karena sering menahan hati,
badanpun sakit tak dimengerti,
uangpun habis tuk mengobati,
hartapun habis tiada berarti.

Kini jasad menjelang mati,
berbulan sudah bak dipahati,
sakitnya sungguh ke ulu hati,
bagai ditikam pisau belati.

Duduk menunggu anak dan istri,
tak tahu cara membantu beri,
berlangsung terus berpuluh hari,
betapa berat sakit dan nyeri.

IX
Tuhan...
Malaikat maut membuat kecut,
wajah seramnya membuat takut,
tapi mengapa tak mau cabut,
tulang dagingku sudah mengkerut.

Terbayang bunda dulu ingin ikut,
tetapi daku tak sempat jemput,
ternyata sampai datangnya maut,
luka hatinya tiada tertaut.

Yang telah hilang tak bisa rebut,
tak guna sesal dihati sudut,
atau menangis berlarut-larut,
tak sempat kata maaf disebut.

X
Tuhan...
Betapa malang diriku ini,
jasad sekarat menjelang mati,
bagai ditusuk seluruh hati,
didunia saja ini seperti.

Kalaulah boleh menangis darah,
supaya Engkau tak lagi marah,
walau harus seberangi laut merah,
kan kukerjakan tanpa menyerah.

Tapi semua telah berlalu,
tinggallah sesal sambil tersedu,
didalam kubur sengsara tentu,
dalam neraka dihimpit batu.

XI
Disaat nyawa terus meregang,
berkelejat jasad lemah dan tegang,
Nyawa tubuhku hampir melayang,
dengarlah nasehat maut menjelang.

Anakku...
Walau bundamu tak berpendidikan,
tak bisa pula beperhiasan,
bahasanyapun tak tertatakan,
tapi baktimu diutamakan.

Hidup yang berkah karena bakti,
mengurus bunda sepenuh hati,
jangan dibuat pengasuh nanti,
karena bekerja suami istri.

XII
Takala tubuhnya semakin renta,
berhati-hati dalam berkata,
karena sering bersalah sangka,
membuat hatinya kan menderita.

Kalaulah sempat haturkan maaf,
ridhokan air susu dihisap,
letihnya bangun ditidur lelap,
diamkan tangismu yang terkesiap.

Alangkah indah kalaulah mungkin,
saat meninggal pasangkan kain,
sebelum itu haruslah yakin,
maaf diberi ridho dipimpin.

XIII
Anakku...
Diriku sudah makin sekarat,
sebentar lagi nyawaku lenyap,
tak mampu lagi daku meratap.
hanya ampunan yang daku harap.

deritaku kini telah lengkap,
Pandanganku kini mulai gelap,
malaikat  mencabut bagaikan kalap,
wahai diri...tak guna lagi engkau meratap.


al Faqir

Hamdi Akhsan.

0 komentar:

Posting Komentar