Sabtu, 15 Januari 2011

12-2011. KIDUNG SESAL SEORANG WANITA TUA

12-2011. KIDUNG SESAL SEORANG WANITA TUA

Oleh
Hamdi Akhsan.



PENGANTAR
Ini syair ratapan seorang istri yang bercerai dan segala akibatnya dimasa tua.
I
Seorang wanita tua duduk sendiri di dipan buluh sebuah gubuk sunyi.
Air matanya menetes, pandangan hampa menembus waktu yang telah dilewati.
Semua kebahagiaan, indahnya cinta, kasih sayang, dan kehangatan berlalu bagai mimpi.
Lenyap bersama putusnya sebuah ikatan suci karena terlalu memperturutkan nafsu dan emosi.

Kini tinggallah sesal runtuhkan jiwa,
tak tahu  permata  hati berserakan  dimana,
tercerai-berai bagaikan pasir dihembus badai tiada daya,
dan dahulu masing-masing pergi dengan ratapan hati yang terluka.

II
Dalam dada rentanya ia sesali keputusan masa silam yang telah dibuat,
ketika badai menimpa rumah tangganya begitu hebat.
Syaitan telah membuatnya lupa semua nikmat,
yang ada hanya dendam kesumat

Tak peduli permintaan maaf suami dan ratap tangis putra-putri tercinta,
dalam kemarahan, lukanya harga diri ia tinggalkan rumah,
Di tengah keangkuhan dan keyakinan ia pasti bisa,
tegakkan kemuliaan saat berpisah.

Tiada maaf didalam hati,
yang terpelihara hanya dendam karena disakiti.
Tak dikenang kebahagiaan dan cinta dari Allah yang Maha Pemberi,
Baginya segala kesakitan dan pengkhianatan suami akan dibawa sampai mati.

III
Tetapi ia lupa,
bahwa hidup manusia tidaklah sempurna,
dalam waktu ada senang dan susah, sedih dan gembira,
dan terkadang serentak  mengiringi satu  peristiwa dengan tangis dan tawa.

Manakala  tenaga  makin  lemah, wajah  keriput dimakan usia yang  makin  menua,
lintasan kenangan demi kenangan indah dari suami dan anak tercinta mulai terasa,
sedang dirinya mulai sadar bahwa kebencian yang  sangat akan berbalik jadi coba.
Karena Allah tidak suka  dengan  keputusan  yang  diambi l manusia dalam amarah,

Betapa ingin untuk pulang, bersimpuh dihadapan suami dan anak-anak tercinta,
Rasakan hangatnya kasih dan celoteh cucu yang bermanja.
Tapi semua tidak mungkin, tak tahu mereka dimana,
dan untuk makanpun uang tak ada.

IV
Ia bergumam, dimana engkau hai anak-anakku,
kini telah begitu letih sendi-sendi tulangku,
dan aroma kematian telah mendekatiku,
sang Maut pun kan menjemputku.
'tuk menghadap pada Tuhanku,
sebagaimana dulu janjiku.

Kini hanya sesal yang menggelora,
mengapa dahulu memperturutkan amarah,
merasa mampu hidup sendiri meski berkeringat darah,
dan...semuanya tiada guna tatkala kerentaan telah mendera.

V
Padamu yang masih bertahan,
betapa  daku  ingin  berpesan.
jangan   turutkan  kemarahan,
karena sesal datang perlahan.

Syukurilah karunia Allah walau pasti ada kekurangan.
Hindari curiga dan saling suka mencari kesalahan,
karena pada setiap jiwa tiada kesempurnaan,
itulah hukum Allah sampai akhir zaman.
karena sifat menuju kefanaan.

Percayalah pada taqdir Ilahi,
kesenangan dan kesedihan silih berganti,
Terhadap musibah kuatkan selalu kesadaran diri,
dan apabila datang kebaikan dan kesenangan selalulah syukuri.

VI
Hatiku telah patah,
perceraian karena amarah membuatku menderita,
segala yang kubenci pada akhirnya berbalik  arah.
Semua laku yang dulu tak kusuka dijadikan   coba,
dan ternyata diriku  bukanlah  orang  yang tabah.

Menjelang dibuat putusan akhir,
Panjangkanlah dahulu zikir dan fikir,
agar kelak tak menyesali pilihan taqdir,
serta mampu menjadi pembela di Yaumil akhir.

Inderalaya,15 Januari 2011
Al Faqir

Hamdi Akhsan.

0 komentar:

Posting Komentar