Kamis, 13 Januari 2011

3-2011. SYAIR RENUNGAN DARI PENGHUNI PANTI JOMPO

3-2011. SYAIR RENUNGAN DARI PENGHUNI PANTI JOMPO
                (antologi Syair Akhir Zaman)

                Oleh
                Hamdi Akhsan.


I

Anakku...
Tadi ayah bertemu seorang nenek yang renta,
di rumah jompo kini hari-harinya ditata,
mata cekungnya nampak nyaris buta,
dan garis wajahnya banyak derita.

Jalannya pelan dan tertatih,
seperti hidup telah membuatnya letih,
dalam dada rapunya sering terdengar desah rintih,
menunggu dipanggil dan kelak dikubur dengan tulang memutih.

II
sudut bibirnya bergetar dan tuturnya mengalir perlahan,
tentang kenangan yang membuatnya bertahan,
suami tercinta pergi menghadap Tuhan,
bagaikan kayu patah dahan.

Tujuh anak besar dalam tiada,
berjuang dengan sedu sedan tangis didada,
Kini mereka telah menjadi terpandang dan berada,
tak sempat lagi untuk mengurus rentanya sang ibunda.

III

Ia terus bertutur...
Zaman baru yang tak bertuhan merubah manusia,
suami istri sibuk bekerja untuk mencari jasa,
rumah dan anak ditinggalkan sudah biasa,
bahkan bila wanita dirumah, malu rasa.

Sedang aku,
Tubuh telah lemah dan sendipun kaku,
untuk jadi pengasuh anaknya sudah tak laku,
pandangan kasihan terasa menghujam didadaku,
sangatlah perih bagaikan dipalu dengan ribuan paku.

IV
Belumlah lagi cara bersikap cucu-cucuku,
sangat berbeda dengan cara dizamanku,
kalau aku sedikit keras mereka mendelik padaku,
seakan terasa begitu tak berharganya keberadaanku.

Mereka katakan standar moralitas dariku sudah usang,
sekarang zaman orang untuk bersenang-senang,
hubungan pria dan wanita tak perlu dipantang,
semua diterjang tanpa mampu dihadang.

V
Setiap siang, rumah besar mereka sepi,
malampun semua sibuk sendiri-sendiri,
antara keluarga hampir tiada komunikasi,
bahkan dirumahpun nyaris tanpa interaksi.

Tidak lagi terdengar suara orang mengaji,
pembicaraan selalu berkisar tentang gaji,
Rencana ke Singapura belanja,bukan haji,
sungguh dirumah-rumah mewah Tuhan telah mati.


VI
Hampir setiap malam terdengar tangis,
teriakan amarah atau bentakan yang bengis,
kadang menghiba-hiba bagaikan suara pengemis,
ternyata jauh dari agama membuat mereka tidak harmonis.

Teringat ibu ajaran yang pernah didengar tatkala masih kecil,
harta yang tak dizakati membuat sifat jadi bakhil,
pemberian sedikit sudah membangkil,
walau hanya sebesar kerikil.


VII
Mereka memang tidak mengusirku,
tapi dengan terpaksa mengurusku,
tak lagi memandang keberadaanku,
dengan tidak menjaga tingkah laku.

Jiwa rapuhku tak lagi kokoh,
lebih baik bagiku ke rumah jompo,
berteman dan berbagi dengan orang bodoh,
namun didalam jiwa mereka iman dan kasih tak roboh.

VIII
Anakku...ayah tercenung,
haru menyesak didalam dada bagaikan gunung,
akankah masa tuaku kelak daku menjadi ayah yang beruntung,
menjadi kecintaan anak cucu yang semasa hidup disanjung-sanjung.

Walau dihari ini tubuh tuaku letih mencari rezeki ke berbagai penjuru,
Agama dididikkan padamu sebagai kewajiban nomor satu,
agar kasih sayang dan iman tidak membatu,
dan dunia tidak kau anggap ratu.

IX
Ayah pun terus merenungkan diri,
tanpa sadar nenek tua itu telah pergi,
tanpa tahu harus dicari kemana lagi,
hanya doa dan penghargaan tinggi,
karena ia telah mengajari dan berbagi.


Al Faqir

Hamdi Akhsan


0 komentar:

Posting Komentar