Oleh
Hamdi Akhsan
I
Malam ini,
Aku tersentak dari kenikmatan tidur panjang sebuah peradaban yang rapuh,
Membuka mata tentang cahaya surya yang semakin redup ditutupi polusi keserakahan,
Tak lagi tercium harumnya bunga di taman firdausi yang memacarkan ke segenap penjuru bumi,
Sungguh, peradaban telah sekarat menjelang kematian.
Tiada lagi cinta yang mengharubirukan para sufi pengembara pencari Tuhan,
atau Diwan sang Maulana yang bersenandung lirih menembus sekat nafsu angkara.
Guru, dunia telah dikutuk bagaikan segelas anggur yang bermetamorfosa menjadi arak yang memabukkan.
Semua telah berubah dalam bentuk penyembahan berhala angka-angka dan lembaran huruf tak bermakna.
Dalam keringnya ruhani manusia modern, pencarian cinta menjadi sebuah pilihan.
Bagaikan tabahnya Ibrahim berjalan di tengah teriknya gurun Arabia untuk sebuah kepatuhan,
atau tersesatnya Musa selama empat puluh tahun di gurun sinai,
dan sujudnya Daud dengan kidung Zabur-nya yang menghentikan kicauan burung di bumi.
II
Kini, sungai darah sebagai wujud kehinaan firaun telah mengalir di berbagai belahan dunia para khalifah-Mu,
Negeri-negeri yang dulu memancarkan sinar peradaban tempat para guru agung lahir berubah jadi ladang pembantaian.
Konya tempat Maulana Agung Rumi menjadi bahagian dari Kemalisme yang menghancurkan khilafah terakhir,
Baghdad (pusat dunia) tempat sang Wali Qutub Seikh Abdul Qadir Jailani pancarkan cahaya Ruhani kini porak poranda,
Pakistan (tanah murni) pun telah dijadikan sarang pemburuan dan pembantaian para pencinta Ilahi,
III
Betapa kurindukan suasana tatkala cahaya mata Syamsyuddin at-Tabriz membakar lantai pasir Madrasah Rumi dan menghanguskan buku-buku yang ada.
Agar daku tak butuh buku untuk menyingkap indahnya rahasia ilham dan kasyaf yang tak akan terang oleh kaca paham peradaban kini.”
Yang menjadikan guru Rumi lemparkan semua kemegahan dan kesenangan duniawi, mengundurkan diri ke kehidupan menyendiri dalam ketaatan kepada guru spiritualnya.
Tapi takkan ada lagi kesetaraan persahabatan antara Musa dan Khaidir setelah itu.
Karena para Wali- telah dikasyafkan dalam pandangan mata manusia modern.
Ujar-ujar agung yang syarat makna Aqliah dan ruhiyah telah berubah hanya dalam hafalan dan analisa,
Jutaan guru bermunculan karena harapan sesuap nasi, bukan karena idealisme yang bertumpu pada tujuan surgawi,
cahaya wajahnya sangat bergantung pada angka-angka kalender yang berhubungan dengan lembaran kertas berharga,
Idealisme?telah tercampak ke dalam tong sampah bagaikan bangkai anjing yang dipandang menjijikkan.
Guru....
Masih adakah cinta dan kepatuhan yang akan memberikan buah keberkahan yang manis,
manakala sang murid tahu bahwa sang guru tidak bekerja untuk membentuk akal dan ruhani,
hanya...keterpaksaan demi sesuap nasi dan sejuknya tempat istirahat dari keletihan umur.
IV
Dalam rentanya peradaban materi, ada jiwa-jiwa yang memiliki cita-cita agung,
walaupun mereka bak sebutir pasir di tengah gurun luas.
Wahai diri, sudahkah engkau pecahkan tembok keangkuhan jati diri demi sebuah cahaya hikmah,
ataukah telah salah menganggap dirimu sebagai putra rajawali penakluk angkasa?padahal hanya seekor puyuh yang bersarang ditanah,
atau...sesungguhnya engkau hanya seekor kambing yang mencoba mengaum menirukan singa perkasa?
Kalaulah engkau memang sang putra rajawali,
Engkau pasti bisa menangkap isyarat-isyarat akan datangnya badai dan bencana yang melanda bumi.
Sambaran petir, Tsunami, gunung meletus, banjir, dan tentara Tuhan lainnya yang telah dikirim ke bumi.
Tapi sayang semua sudah tiada bermakna untuk sebuah kesadaran diri?
V
Guru...
Sekarang kidung-kidung sucimu terpendam jauh dipelosok dan desa-desa terpencil dimana kebenaran masih dihormati,
Surau-surau, zahwah, seruling bambu guru rumi berubah menjadi nyanyian cinta asmara sengau yang digilai bagai gilanya Majnun pada Laila.
Ratib Sang sheik Abdul Qadir jarang terdengar di tempat-tempat yang dipenuhi wajah-wajah yang bercahaya,
dan harapan Maulana Iqbal hanya menjadi seonggok kertas yang tersimpan dibagian arsip perpustakaan.
Adapun daku muridmu?
terpapar dalam kesunyian dan kesendirian mencari jati diri yang mendekati senja kematian,
ingin kupergi bagaikan Yunus yang putus asa?tapi aku takut awan merah akan membakarku dalam murka-Nya,
Atau lari seperti ashabul kahfi, namun aku takut akan tertidur selamanya dalam ketiadaan Ridho-Nya.
karena daku tak seperti yunus dalam menyuarakan kidung Ilahi dan tiada terancam bak ashabul kahfi.
VI
Guru, dalam sunyinya malam dan sepinya para pencinta kidung sucimu,
Ada secercah cahaya yang meresap dalam ke relung jiwa, memberi isyarat tentang senja sebuah peradaban berhala,
aku berharap tatkala Mahdi terakhir tiba,
semua pencinta Ilahi akan bersatu menegakkan panji-panji kebenaran,
seperti di masa dahulu, tatkala api cinta membakar dunia selama tujuh ratus tahun.
Di hari ini, Milyaran manusia bumi berharap.
Akan muncul pemimpin agung seperti Raja Sulaiman sang Penakluk Jin dan energi ciptaan Ilahi,
Pengendali badai, angin, dan awan yang rendahkan hati dengan menghormati nasehat seekor semut,
atau bagaikan seorang Khalifah Umar Sang Penakluk Rumawi dan Persia yang sanggup memikul karung gandum demi sebuah amanah,
Atau seperti Panglima saladin sang penakluk Raja Richard yang hanya wariskan sebuah kendi untuk anak keturunannya.
Bukan pemimpin yang muncul dengan berbagai tipu daya dan janji-janji yang meninibobokkan,
atau yang berlindung dibalik kepalsuan.
VII
Guru...
Kini para pencinta Ilahi dihinakan dan dikejar-kejar seperti kelinci yang harus bersembunyi di berbagai lubang,
Sedangkan para Srigala bersatu padu di berbagai penjuru membantai mereka satu demi satu,
di berbagai penjuru, sesama kelinci asyik bercengkrama menikmati hijaunya rumput segar,
sungguh sebuah ironi dalam persaudaraan sejati.
Guru...
Kapan kidung kita akan kembali dinyanyikan para pencinta diseluruh penjuru bumi,
ratib-ratib puja pada Sang Pencipta memenuhi sudut-sudut malam,
dan cahaya keberkahan kembali tercurah bagai hujan,
suburkan bumi, menuai keberkahan,
sampai tibanya hari pembalasan.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan.
0 komentar:
Posting Komentar