42-2010. SYAIR USTADZ KAMPUNG DI SURAU TUA
Oleh
Hamdi Akhsan.
Syair ini berisi curahan hati seorang guru ngaji di kampung yang menyaksikan proses perubahan zaman. Moga bermanfaat.
I
Syair dibuka dengan Bismillah,
pasrahkan hati kepada Allah,
asal segala makhluk bermula,
sampai kelak ditiup sangkakala.
Syairku ini curahan hati,
lamanya hidup sudah kutiti,
nafasku sudah hampir berhenti,
sudah menjelang datangnya mati.
Namun jiwaku tetap merintih,
zaman yang ada telah beralih,
dunia disembah sangat berlebih,
akherat sedikit walaupun masih.
II
Teringat daku masa dahulu,
budaya surau jadi penghulu,
ditabuh beduk bertalu-talu,
datang manusia segala penjuru.
Menjelang petang surau telah ramai,
mengaji anak dan amai-amai,
dara berkerudung cantik gemulai,
siap bersanding jadi mempelai.
Suara mengaji terdengar keras,
dibawa angin berhembus deras,
serius tampak semua paras,
menatap lurus ke lembar kertas.
III
Disudut surau berkumpul suluh,
yang dibuat dari batangnya buluh,
karena didalam ada pembuluh,
dan...jumlahnya sampai berpuluh-puluh.
Menjelang pulang habis tartilan,
murid berebut mencium tangan,
harapkan berkah dan keikhlasan,
supaya ilmu jadi pegangan.
Berjalan pulang sambil bermain,
aurat dikaki tertutup kain,
pria dan wanita rombongan lain,
sungguh...indah bukan main!
IV
Dimalam jumat mengaji libur,
diisi kisah sangat menghibur,
tentang dunia dan tentang kubur,
sehingga terjauh dari takabbur.
Kadang terdengar gelak dan tawa,
kisah yang lucu jadi terbawa,
tapi diriku tetap berwibawa,
serta muridpun tidak jumawa.
Decak kagumpun banyak terdengar,
ketika pahlawan datang bersinar,
taklukkan musuh yang hingar bingar,
serukan yang sesat menjadi sadar.
V
Ketika pulang kau bercerita,
kepada ayah bunda tercinta,
tanpa dikarang atau berdusta,
sehingga berkah dapat dipinta.
Dahulu hanya berlampu minyak,
siang dipakai bermain banyak,
sampai dirumah langsung terhenyak,
sampai ke subuh kau tidur nyenyak.
Kalaulah ada dikit hiburan,
bunyi radio jadi andalan,
walau mendengar bekerja tangan,
waktu yang ada tak mubazirkan.
VI
Di musiim panen orang gembira,
sebagai guru mendapat pula,
beras sekilo harum baunya,
terima kasih pada ustadznya.
Ada yang infaq minyak tanah,
untuk penerang itu karena,
supaya terang belajar suasana,
dan tidak salah baca nadanya.
Hatiku ikhlas dan bahagia,
sebar agama supaya jaya,
iman didada tak teraniaya,
terima kasih pula si orangtua.
VII
Tapi kini tinggallah kisah,
murid mengaji semakin susah,
surau dikampung ditelan masa,
atapnya bocor lantainya basah.
Ketika listrik masuk ke kampung,
panen yang banyak penuhi lumbung,
membeli TV yang dapat untung,
ngaji disurau berangsung buntung.
Murid yang datang makin menipis,
orang menonton tawa dan tangis,
sinetron acara paling digubris,
film kartun pun berlapis-lapis.
VIII
Ketika yang datang berbilang jari,
jumlah sedikit membuat jeri,
pulang ngajipun sambil berlari,
akhirnya...tinggallah diriku seorang diri.
Dalam sendiri daku termangu,
meratap dalam jiwaku pilu,
mengapa semua hanya masa lalu,
suraupun jadi saksi yang bisu.
surai yang ada mulai lapuk,
disana sini papan membubuk,
jamurpun tumbuh bagai dirabuk,
ditempat sampai tempatnya beduk.
IX
Kalau dahulu gadis berkain,
sekarang sudah budaya lain,
tampak semua tanpa bersalin,
segala yang berlekuk dah dipamerin.
Budaya malu mulai menghilang,
yang penting berharta orang yang datang,
supaya nanti bisa terpandang,
peduli baik atau petualang.
Hamil diawal sudah biasa,
poskot dahulu itupun bisa,
apalah lagi jabatan basah,
tak peduli benar atau berdosa.
X
Orang terpandang orang sekolah,
peduli sholeh ataupun salah,
yang penting mewah pulang setelah,
tak peduli miskin tetangga sebelah.
Budaya pamer jadi tradisi,
terhormat mereka yang pakai dasi,
pulang ke rumah bermercedes classy,
peduli halal atau korupsi.
Kasihan surau kini telah roboh,
orang dikampung dah masa bodoh,
bermohon daku agar di ridho,
supaya azab tidak tergopoh.
XI
Agama sudah dibelakangkan,
harta dan uang diutamakan,
rumah megah yang dibanggakan,
jabatan tinggi yang ditujukan.
Dengan ilmuku yang sedikit,
kuperingatkan walaupun sakit,
semua kan sesal saat berbangkit,
ditipu dunia tak bisa kelit.
Syairku ini berakhir sudah,
curahan hati dimasa senja,
menjelang daku ke alam barzah,
tinggalkan segala didunia fana.
PENUTUP
Maafkan daku bila bersalah,
karena kata sempat mencela,
kukatakan sebelum langit terbelah,
dan tiada lagi ampunan Allah.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan.
Syair ini berisi curahan hati seorang guru ngaji di kampung yang menyaksikan proses perubahan zaman. Moga bermanfaat.
I
Syair dibuka dengan Bismillah,
pasrahkan hati kepada Allah,
asal segala makhluk bermula,
sampai kelak ditiup sangkakala.
Syairku ini curahan hati,
lamanya hidup sudah kutiti,
nafasku sudah hampir berhenti,
sudah menjelang datangnya mati.
Namun jiwaku tetap merintih,
zaman yang ada telah beralih,
dunia disembah sangat berlebih,
akherat sedikit walaupun masih.
II
Teringat daku masa dahulu,
budaya surau jadi penghulu,
ditabuh beduk bertalu-talu,
datang manusia segala penjuru.
Menjelang petang surau telah ramai,
mengaji anak dan amai-amai,
dara berkerudung cantik gemulai,
siap bersanding jadi mempelai.
Suara mengaji terdengar keras,
dibawa angin berhembus deras,
serius tampak semua paras,
menatap lurus ke lembar kertas.
III
Disudut surau berkumpul suluh,
yang dibuat dari batangnya buluh,
karena didalam ada pembuluh,
dan...jumlahnya sampai berpuluh-puluh.
Menjelang pulang habis tartilan,
murid berebut mencium tangan,
harapkan berkah dan keikhlasan,
supaya ilmu jadi pegangan.
Berjalan pulang sambil bermain,
aurat dikaki tertutup kain,
pria dan wanita rombongan lain,
sungguh...indah bukan main!
IV
Dimalam jumat mengaji libur,
diisi kisah sangat menghibur,
tentang dunia dan tentang kubur,
sehingga terjauh dari takabbur.
Kadang terdengar gelak dan tawa,
kisah yang lucu jadi terbawa,
tapi diriku tetap berwibawa,
serta muridpun tidak jumawa.
Decak kagumpun banyak terdengar,
ketika pahlawan datang bersinar,
taklukkan musuh yang hingar bingar,
serukan yang sesat menjadi sadar.
V
Ketika pulang kau bercerita,
kepada ayah bunda tercinta,
tanpa dikarang atau berdusta,
sehingga berkah dapat dipinta.
Dahulu hanya berlampu minyak,
siang dipakai bermain banyak,
sampai dirumah langsung terhenyak,
sampai ke subuh kau tidur nyenyak.
Kalaulah ada dikit hiburan,
bunyi radio jadi andalan,
walau mendengar bekerja tangan,
waktu yang ada tak mubazirkan.
VI
Di musiim panen orang gembira,
sebagai guru mendapat pula,
beras sekilo harum baunya,
terima kasih pada ustadznya.
Ada yang infaq minyak tanah,
untuk penerang itu karena,
supaya terang belajar suasana,
dan tidak salah baca nadanya.
Hatiku ikhlas dan bahagia,
sebar agama supaya jaya,
iman didada tak teraniaya,
terima kasih pula si orangtua.
VII
Tapi kini tinggallah kisah,
murid mengaji semakin susah,
surau dikampung ditelan masa,
atapnya bocor lantainya basah.
Ketika listrik masuk ke kampung,
panen yang banyak penuhi lumbung,
membeli TV yang dapat untung,
ngaji disurau berangsung buntung.
Murid yang datang makin menipis,
orang menonton tawa dan tangis,
sinetron acara paling digubris,
film kartun pun berlapis-lapis.
VIII
Ketika yang datang berbilang jari,
jumlah sedikit membuat jeri,
pulang ngajipun sambil berlari,
akhirnya...tinggallah diriku seorang diri.
Dalam sendiri daku termangu,
meratap dalam jiwaku pilu,
mengapa semua hanya masa lalu,
suraupun jadi saksi yang bisu.
surai yang ada mulai lapuk,
disana sini papan membubuk,
jamurpun tumbuh bagai dirabuk,
ditempat sampai tempatnya beduk.
IX
Kalau dahulu gadis berkain,
sekarang sudah budaya lain,
tampak semua tanpa bersalin,
segala yang berlekuk dah dipamerin.
Budaya malu mulai menghilang,
yang penting berharta orang yang datang,
supaya nanti bisa terpandang,
peduli baik atau petualang.
Hamil diawal sudah biasa,
poskot dahulu itupun bisa,
apalah lagi jabatan basah,
tak peduli benar atau berdosa.
X
Orang terpandang orang sekolah,
peduli sholeh ataupun salah,
yang penting mewah pulang setelah,
tak peduli miskin tetangga sebelah.
Budaya pamer jadi tradisi,
terhormat mereka yang pakai dasi,
pulang ke rumah bermercedes classy,
peduli halal atau korupsi.
Kasihan surau kini telah roboh,
orang dikampung dah masa bodoh,
bermohon daku agar di ridho,
supaya azab tidak tergopoh.
XI
Agama sudah dibelakangkan,
harta dan uang diutamakan,
rumah megah yang dibanggakan,
jabatan tinggi yang ditujukan.
Dengan ilmuku yang sedikit,
kuperingatkan walaupun sakit,
semua kan sesal saat berbangkit,
ditipu dunia tak bisa kelit.
Syairku ini berakhir sudah,
curahan hati dimasa senja,
menjelang daku ke alam barzah,
tinggalkan segala didunia fana.
PENUTUP
Maafkan daku bila bersalah,
karena kata sempat mencela,
kukatakan sebelum langit terbelah,
dan tiada lagi ampunan Allah.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
0 komentar:
Posting Komentar