Oleh
Hamdi Akhsan
Ibunda...
Syair kutulis sambil tersedu,
pada ibunda ananda rindu,
ingin rasanya daku mengadu,
diharibaanmu seperti dulu.
Kubuat syair ketika malam,
hati gemuruh mulut terdiam,
air mataku bagai disiram,
jantung berdebar berdentam-dentam.
Betapa berat sungguh terasa,
ketika jauh dari ibunda,
pahit dan getir serta gelisah,
bercampur satu didalam dada.
II
Betapa sering nanda teringat,
pelukan bunda begitu hangat,
kasih dan sayang teramat sangat,
kukuh bagaikan batu dipahat.
Teringat daku dimasa kecil,
ketika tubuh lemah dan mungil,
berdiripun nanda masih menggigil,
suara lembutmu sering memanggil.
Daku berlari datang padamu,
terentang lebar kedua tanganmu,
kaupeluk erat tubuh anakmu,
terkulai manja di pelukanmu.
III
Ketika daku mulai bermain,
tak lagi digendong memakai kain.
ibunda cemas bukan main,
lepaskan daku ke orang lain.
tapi ananda sering tak sadar,
cemasnya ibu sangat mendasar,
terjatuh daku lukanya lebar,
darah mengalir sampai menyebar.
Kau gendong anakmu dengan cemas,
lari bagaikan harimau lepas,
kian kemari segala diawas,
agar anakmu segera waras.
IV
Ibunda...
Terkenang selalu pada ananda,
suatu ketika demam melanda,
kau peluk daku lekat didada,
seakan tak sanggup lepaskan sudah.
Dikau tak tidur sepanjang malam,
tetap berjaga dimalam kelam,
lantunkan doa sambil terdiam,
berharap nanda tak lagi demam.
Walau matamu terlihat letih,
badanmu capek jalan tertatih,
tiada keluhan tiada rintih,
demi anakmu yang masih putih.
V
Ketika daku beranjak besar,
ibunda bujuk agar belajar,
supaya kelak tidak kesasar,
atau hidupku tanpa dasar.
Kutahu engkau begitu sayang,
sedetikpun tiada waktu terbuang,
selalu berdoa dalam sembahyang.
supaya anakmu menjadi bintang.
Masa berlalu bagaikan pedang,
cerdas ananda mulai bekembang,
kutahu hatimu selalu bimbang,
lepaskan daku turun gelanggang.
VI
Tapi citaku membumbung tinggi,
dengan doamu ananda pergi,
merantau jauh ke lain negeri,
mobilnya siang sampainya pagi.
Kau lepas ananda berair mata,
selamat berharap ibunda pinta,
dilindungi Allah putra tercinta,
dimudahkan selalu menggapai cita.
setiap libur ananda pulang,
senang hatimu bukan kepalang,
buatkan ananda pindang tulang,
walaupun engkau tak punya uang.
VII
Kusayang ibu yang sederhana,
bicara sedikit tapi bermakna,
menangis ananda sedih karena,
kecewakan ibu jauh disana.
kala kupulang engkau bertanya,
makan minumku saat disana,
cara bergaul sebagai kelana,
keadaan kuliahku yang bagaimana.
Daku cerita apa adanya,
raut wajahmu kadang merona,
terkadang tampak engkau terpana,
terkadang cemas kala ada disana
VIII
Ibunda...
Setiap pulang ibu menanti,
tapi ananda selalu amati,
baju ibunda tak ganti-ganti,
atau bertambah didalam peti.
Kalau teringat daku menangis,
ibu mencari dengan mengais,
cari rezeki bagai belibis,
kian kemari tak habis-habis.
Kau hemat hidup untuk kiriman,
biaya hidupku setiap bulan,
walaupun kurus akhirnya badan,
tapi semua rapi kau simpan.
IX
Ibunda...
Kutahu bunda begitu bangga,
dampak ananda saat wisuda,
walaupun ayah telah tiada,
ibunda pikul amanah sudah.
kau pendam dalam jiwa yang pilu,
karena ayah telah dahulu,
tak bisa hadir saat yang haru,
hantarkan anakmu sukses selalu.
Walau kuliahku sudah tamat,
engkau tak bosan beri nasehat,
mencari kerja haruslah giat,
kalaulah dapat hiduplah hemat.
X
Ketika jodoh ananda datang,
kuhadap bunda mohon ditimbang,
basah matamu kala memandang,
terbayang masa yang telah hilang.
Kutahu bunda merasa haru,
teringat saat kecil dahulu,
Puluhan tahun serasa baru,
ananda sudah memohon restu.
Kutahu bunda sering menangis,
Semua hartamu telah habis,
untuk sekolah tak bunda gubris,
mencari lagi bisa dirintis.
XI
Ketika ijab sudah kuucap,
kupeluk bunda sambil tiarap,
doa dipinta restu diharap,
kau ucap kata hampir meratap.
doa restu diseling sedan,
menahan tangis terguncang badan,
restu ikhlasmu nanda dapatkan,
ridhoi hidup sepanjang badan.
Mulailah hidup nanda yang baru,
engkau tak lelah dalam berseru,
istrimu bukan jadi seteru,
tapi bagaikan tebu dan buku.
XII
Ibunda...
Ketika daku berangkat pulang,
menengok ibu yang nanda sayang,
sampai dirumah petang menjelang,
senang hatimu bukan kepalang.
Kulihat raut mulai menua,
matamu cekung bahagian bawah,
jalan tertatih terlihat nyata,
menangis aku tiada berkata.
Kulihat engkau begitu bijak,
lamanya hidup bumi dipijak,
berbuat baik selalu kau ajak,
ketika kecil dahulu sejak.
XIII
Kini, Usia enam lima bunda berbilang,
masa yang dekat menjelang pulang,
tekad ananda alang-kepalang,
ke tanah suci bunda tersayang.
Bila teringat nanda menangis,
bersama bunda di tempat magis,
tadahkan tangis doa dirintis,
Berharap ampun dan dosa habis.
airmatapun basah didada,
teringat ayah yang telah tiada,
bersama bunda tangan tengadah,
terhadap kita Allah kan ridha.
XIV
Ibunda...
Jasamu sungguh tiada terkira,
kasih sayangmu seluas samudera,
cintamu memang tiada tara,
doamu mustajad membelah udara.
diusia ananda yang empat puluh,
kadang ananda masih mengeluh,
letihnya hidup memeras peluh,
tegarpun kadang hancur luluh.
Tapi ibunda manusia tegar,
nasehatmu membuat ananda segar,
ibu bagaikan sebuah pagar,
jaga ananda walaupun sukar.
XV
Ibunda...
kepada Allah nanda berdoa,
semoga bunda diberi sorga,
disayang Allah tiada terhingga,
seperti ketika pada ananda.
Dengan menangis kumohon maaf,
dimasa lalu banyak yang khilaf,
bakti padamu tidaklah lengkap,
dimasa tua menjelang sirap.
Kalaulah ananda pergi dahulu,
mohon ibunda ikhlas selalu,
capeknya bangun dimalam dalu,
bujuk ananda nangis selalu.
XVI
Kalaulah ibu susul ayahanda,
lebih dahulu dari ananda,
sampaikan salam rindu kepada,
sosok yang tegar lagi perkasa.
Ibunda sayang ananda cinta,
diakhir syair nanda meminta,
sambil mengalir air mata,
saling ikhlaskan hendaknya kita.
diakhir malam kututup syair,
kasih ibunda selalu mengalir,
abadi selalu tiada akhir,
sampai fana jasad yang zahir.
Al Faqiir
Hamdi akhsan.
0 komentar:
Posting Komentar