Oleh
Hamdi Akhsan
Awali syair dengan istighfar,
memohon ampun pada yang Ghoffaar,
agar diberi sifat yang sabar,
atas musibah yang kian menyebar.
Jerit dan tangis terdengar pilu,
panik melanda dimalam dalu,
Air menggulung kematian berlalu,
menyapu semua tak pandang bulu.
Ibu dan anak kini terpisah,
semua berjuang merebut asa,
lakukan apa yang ia bisa,
supaya badan tidak binasa.
II
Bumi yang subur luluh lantak,
semua orang jadi tersentak,
lihat yang hancur dan retak-retak,
serta yang hilang tak tahu letak.
Wahai Ilahi Sang Maha Rahman,
musibah telah Engkau berikan,
ujian bagi orang beriman,
Laknat untuk para Siluman.
Mengapa semua ini terjadi,
padahal Aceh dah dipelajari,
Padang hancur berdekat hari,
kini mentawai terjadi lagi.
III
Uang keluar melimpah ruah,
tuk dibuat hadang musibah,
rencana hebat tak sudah-sudah,
untuk berbuat terlambat sudah.
Takutnya kita sudah teranggar,
tapi pelaku banyak melanggar,
rencana pantai rimbun dan segar,
ternyata isinya cuma jarak pagar.
Tahukah mereka besarnya dosa,
tak takut pada Maha Perkasa,
anggaran diatur sebisa-bisa,
supaya kenyang sang penguasa.
IV
Tsunami aceh masih terbayang,
duaratus ribu nyawa melayang,
tapi...sungguh sayang disayang,
peringkat korupsi masih tak goyang.
sudah lama di peringatkan,
gempa yang besar kan didatangkan,
palung yang ada kan digerakkan,
lempeng bertemu kan digeserkan.
Kalaulah tahu akan begitu,
mengapa yang pintar kepala batu,
menganggap remeh akan hal itu,
jadilah bencana tak pilih waktu.
V
Mentawai itu pulau yang indah,
penduduknya baik dan sederhana,
makannya dari sagu pohon nipah,
ikan ditangkap bakar ditanah.
Ketika datang moderinsasi,
pantai yang indah tak terawasi,
wisata bahari jadi promosi,
jadilah maksiat tak basa-basi.
Pergaulan bebas jadi biasa,
tak lagi banyak yang takut dosa,
baru bertemu bisa dirasa,
berganti lagi setelah berpisah.
VI
Berharap hamba pada sahabat,
sabarlah atas musibah hebat,
kita semua mari bertaubat,
memohon ampun sebelum terlambat.
Setelah Tsunami kini terjadi,
berharap iman akan kembali,
Gereja dan mesjid berisi lagi,
Tanpa wisata kita tak rugi.
Semua petugas akan amanah,
bekerja sungguh jadi karena,
atasi gempa dan Tsunami jadi rencana,
supaya tak menderita di dunia sana.
VII
Belumlah ada berkelang waktu,
merapi kini muntahkan debu,
awan panas menderu-deru,
Lelehkan kulit hanguskan kayu.
Wahai Ilahi sang Penguasa,
ampuni kami atas dosa,
janganlah kami berputus asa,
hanya munajad yang kami bisa.
Pada-Mu jua kami meminta,
dengan bercucuran airmata,
Sabarkan mereka yang menderita,
sabar dan iman jadi permata.
VIII
Gunung meletus tuk peringatan,
hasil berfikir yang disombongkan,
hidup beriman disepelekan,
nasehat agama disia-siakan.
Ada orang baca kelenik,
itu semua adalah syirik,
temannya syaitan akan ditarik,
mari bertaubat dan segera balik.
Semua ini bentuk musibah,
orang beriman diharap tabah,
mereka yang sesat segera berubah,
supaya murka jangan bertambah.
IX
Kepada diri hamba ingatkan,
pada sahabat saya sampaikan,
hidup beriman mari jadikan,
larangan Allah mari hindarkan.
Musibah akan terus terjadi,
selama agama tak dituruti,
korupsi dibiarkan menjadi-jadi,
pergaulan juga seperti sapi.
Di kitab suci telah tertera,
betapa banyak umat didera,
atas peringatan tak pernah jera,
dunia akherat akan sengsara.
X
PENUTUP
diakhir syair kumohon maaf,
atas segala salah dan khilaf,
atas kata sudah tersilap,
ataupun emosi tampak meluap.
Pada-Mu Allah hamba merintih,
rambutku ini mulai memutih,
hiduppun kadang terasa letih,
jalanpun sudah mulai tertatih.
Syairku ini berakhir sudah,
Mengalir pelan bagaikan nada,
berharap kuat iman didada,
sampai hidupku berakhir sudah.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
0 komentar:
Posting Komentar