305-2011. Ibu, Dengarlah Tangisan Jiwaku (2)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Ibu, malam telah semakin larut dekati waktu pertengahan.
Mengapa airmata ini tak mampu jua untuk kutahan.
Kuratapi kepedihan jiwaku dalam sesenggukan.
Bak Pahlawan yang hancur dalam kekalahan.
Ibu, anakmu hilang semangat yang membaja.
Tak mampu tegakkan kepala seorang kesatria.
Kerja keras sepanjang waktu seolah tiada berguna.
Dan semua yang kubangun menjadi hambar dan hampa.
II
Ibu, maafkan atas jiwa kanak-kanakku yang begitu rapuh.
Betapa ingin mengadu padamu sambil bersimpuh.
Sampaikan segenap lelah hidup memeras peluh.
Untuk permata jiwaku yang sedang tumbuh.
Tapi ibu, mengapa anakmu tak bisa percaya.
Atas ungkapan dan kefasihan menyusun kata.
Karena mata batin dan ketajaman hatiku berkata.
Bahwa dalam kalimat masih banyak tersimpan dusta.
III
Ibu, Maafkan anakmu kalau harus pergi dan menyerah.
Dalam hidup ini diriku tak sekuat dan setegar ayah.
Jasadku sekarang begitu ringkih dan mudah lelah.
Hadapi gempuran yang buat ketegaranku kalah.
Maafkan anakmu tak sanggup emban amanah ini.
Karena tahu segala yang terjadi petang dan pagi.
Namun kusembunyikan dalam pedihnya relung hati.
Dan menjadi luka yang kelak akan kubawa sampai mati.
IV
Ibu, maafkan anakmu yang tak sanggup beri kebahagiaan.
Apabila daku harus pergi dengan membawa kekalahan.
Merintis jalan baru untuk jalani taqdir kehidupan.
Dan berharap didalamnya ada kebahagiaan.
Tahanlah airmatamu atas taqdir yang kujalani.
Walau di usia telah senja semuanya harus kumulai.
Semoga didalam kesulitan ada kebahagiaan dari Ilahi.
Atau biarlah semua berakhir tatkala kelak datangnya mati.
Ibu, maafkan anakmu yang kurang berbakti.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Ibu, malam telah semakin larut dekati waktu pertengahan.
Mengapa airmata ini tak mampu jua untuk kutahan.
Kuratapi kepedihan jiwaku dalam sesenggukan.
Bak Pahlawan yang hancur dalam kekalahan.
Ibu, anakmu hilang semangat yang membaja.
Tak mampu tegakkan kepala seorang kesatria.
Kerja keras sepanjang waktu seolah tiada berguna.
Dan semua yang kubangun menjadi hambar dan hampa.
II
Ibu, maafkan atas jiwa kanak-kanakku yang begitu rapuh.
Betapa ingin mengadu padamu sambil bersimpuh.
Sampaikan segenap lelah hidup memeras peluh.
Untuk permata jiwaku yang sedang tumbuh.
Tapi ibu, mengapa anakmu tak bisa percaya.
Atas ungkapan dan kefasihan menyusun kata.
Karena mata batin dan ketajaman hatiku berkata.
Bahwa dalam kalimat masih banyak tersimpan dusta.
III
Ibu, Maafkan anakmu kalau harus pergi dan menyerah.
Dalam hidup ini diriku tak sekuat dan setegar ayah.
Jasadku sekarang begitu ringkih dan mudah lelah.
Hadapi gempuran yang buat ketegaranku kalah.
Maafkan anakmu tak sanggup emban amanah ini.
Karena tahu segala yang terjadi petang dan pagi.
Namun kusembunyikan dalam pedihnya relung hati.
Dan menjadi luka yang kelak akan kubawa sampai mati.
IV
Ibu, maafkan anakmu yang tak sanggup beri kebahagiaan.
Apabila daku harus pergi dengan membawa kekalahan.
Merintis jalan baru untuk jalani taqdir kehidupan.
Dan berharap didalamnya ada kebahagiaan.
Tahanlah airmatamu atas taqdir yang kujalani.
Walau di usia telah senja semuanya harus kumulai.
Semoga didalam kesulitan ada kebahagiaan dari Ilahi.
Atau biarlah semua berakhir tatkala kelak datangnya mati.
Ibu, maafkan anakmu yang kurang berbakti.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan