298-2011. Kepada Yang Fana
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Hari ini kurindukan gemericik nyanyian hujan yang membasahi dedaunan.
kurindukan wajah-wajah lugu tertawa lalui pematang sawah di pedesaan.
Para sahabat masa kecil yang pulang mengaji di surau berjalan beriringan.
Pancarkan keluguan hati nurani yang mencintai kebaikan dan kebenaran.
Malam minggu di surau mata tak berkedip karena takjub dengarkan kisah.
Tentang para pengembara kebenaran yang berjuang dengan gagah.
Tentang keberkatan anak-anak yang berbakti pada ibu dan ayah.
Serta kisah teladan para pahlawan yang tak pernah menyerah.
II
Kini, kisah-kisah hebat tenggelam oleh kecanggihan teknologi.
Surau-surau yang dahulu begitu ramai berubah jadi sangat sepi.
Para guru mengaji yang pancarkan wajah begitu ikhlas sudah tiada lagi.
Seakan cahaya hidayah Ilahi di permukaan bumi kini sekarat menjelang mati.
Ketakutan kualat dan hilangnya keberkatan hidup pun kini telah disepelekan.
Orangtua yang begitu mulia dalam agama lebih dipandang sebagai pelayan.
Berharga di mata sebahagian anak-anaknya selama masih kuat dan diperlukan.
Dan pada saat usia telah tua dan jasad melemah mereka dianggap beban.
III
Peringatan tentang kebahagiaan akherat dianggap sudah ketinggalan zaman.
Tidak bermakna kala mengantar ke kubur mereka kembali tanpa kebanggaan.
Segala pernik duniawi yang begitu berambisi dikejar semuanya ditinggalkan.
Dan kembali menghadap Sang Pencipta hanya membawa tiga lapis kain kafan.
Mana pembelaan segala yang telah dicari sepanjang usia dengan segala cara?
Kecuali hanya menangis beberapa saat dan kemudian kembali tertawa.
Sedangkan kiriman yang dirindukan tak datang walau sekadar doa.
Tinggallah jasad yang diazab menangisi diri sepanjang masa.
IV
Kemana jiwa suci yang dahulu begitu merindukan kebenaran.
Apakah ia telah lemah dan kotor karena akrab dengan kemaksiatan.
Ataukah ia lupa sebagaimana musafir yang lama tersesat tak tahu jalan.
Hingga tak sadar bahwa perjanjian dengan Sang Pemilik tanpa penudaan.
Wahai jiwa yang tak sadar hari-hari kematian jasad telah semakin dekat.
Sebentar lagi akan datang utusan-Nya dalam wujud para malaikat.
Yang akan menjadi pemutus dan hilangkan segala nikmat.
Dan setiap jiwa bertanggungjawab kelak di akherat.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Sabtu, 19 November 2011
Kamis, 17 November 2011
297-2011. Pesan Untuk Generasi Baru (3)
297-2011. Pesan Untuk Generasi Baru (3)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Teriakan dan caci maki para para pendengki bergema di berbagai penjuru.
Persia, negeri dengan peradaban ribuan tahun tak boleh jadi kekuatan baru.
Tak boleh ada singa-singa pemegang panji kemuliaan seperti pada masa lalu.
Cukuplah mereka menjadi anak manis yang terlena dalam kefanaan sang waktu.
Itukah jargon keadilan yang selalu mereka teriakkan atas nama hak azasi manusia.
Para pemegang panji hitam kebangkitan Al Mahdi tak pernah boleh menjadi mulia.
Para pendengki dengan segala cara jadikan mereka bangsa-bangsa yang terlena.
Yang tak mampu tegakkan harga diri bagai kumpulan domba dalam tatapan singa.
II
Di Negeri tempat para menakluk dunia datang rakyat dan penguasa bercakaran.
Masing-masing luapkan amarah dengan tidak berpegang teguh pada Alquran.
Negeri Syiria seakan menjadi ladang pembantaian yang begitu mengerikan.
Sungguh betapa musuh tertawa duduk nikmati hidangan bersama syaitan.
Mana kaum muda pemegang panji, masih adakah mereka di bumi ini?
Ataukah mereka masih asyik dengan permainan ciptaan Yahudi?
Yang membuat terlena dalam kesemua dan mematikan hati.
Dan habiskan waktu yang begitu berharga lebihi materi.
III
Kemuliaan?bukan jargon indah yang cukup dikatakan.
Ia butuh kekuatan dalam segala bagian yang dipersatukan.
Harus teguh dan ikhlaskan hati karena darah yang dikucurkan.
Sebagai perwujudan cinta kepada Ilahi yang harus dibuktikan.
Tiada kemuliaan pada kambing piaraan padang rumput nan hijau.
Begitu banyak, hanya mampu berlari bila datang sang harimau.
Menggigil takut bak terserang demam mengembik parau.
Dan singapun menatap penuh ejekan senda gurau.
IV
Putra Zaman, bukanlah mereka yang mudah terlena.
Tapi mereka sadar kepungan musuh sehingga selalu siaga.
Melatih diri dengan segenap kesulitan untuk dijadikan senjata.
'Tuk hadapi seberat apapun cobaan menghadang di depan mata.
Tiada lagi waktu untuk diam bagai tikus di atas lumbung padi.
Karena segala perangkat untuk bangkit telah Tuhan beri.
Tinggallah kesadaran dan kemauan didalam hati.
Merebut kemuliaan sebagai khalifah di bumi.
V
Putra Zaman! kini peperangan besar semakin dekat.
Musuh telah mengasah pedang penghancur tajam berkilat.
Yang akan merajai dunia hanya mereka yang unggul dan kuat.
Serta sekumpulan pasukan beriman yang dibantu oleh jutaan malaikat.
Adakah engkau ingin jadi bagian dari pertarungan akhir peradaban itu?
Ataukah usia akan dihabiskan dengan berpaling pada Yang Satu?
Kelak sesal akan datang saat dikubur sendiri bagai yatim piatu.
Dan kembali gagal harapan akan munculnya generasi baru.
Dan tak berarti walau hanya sebutir debu.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Teriakan dan caci maki para para pendengki bergema di berbagai penjuru.
Persia, negeri dengan peradaban ribuan tahun tak boleh jadi kekuatan baru.
Tak boleh ada singa-singa pemegang panji kemuliaan seperti pada masa lalu.
Cukuplah mereka menjadi anak manis yang terlena dalam kefanaan sang waktu.
Itukah jargon keadilan yang selalu mereka teriakkan atas nama hak azasi manusia.
Para pemegang panji hitam kebangkitan Al Mahdi tak pernah boleh menjadi mulia.
Para pendengki dengan segala cara jadikan mereka bangsa-bangsa yang terlena.
Yang tak mampu tegakkan harga diri bagai kumpulan domba dalam tatapan singa.
II
Di Negeri tempat para menakluk dunia datang rakyat dan penguasa bercakaran.
Masing-masing luapkan amarah dengan tidak berpegang teguh pada Alquran.
Negeri Syiria seakan menjadi ladang pembantaian yang begitu mengerikan.
Sungguh betapa musuh tertawa duduk nikmati hidangan bersama syaitan.
Mana kaum muda pemegang panji, masih adakah mereka di bumi ini?
Ataukah mereka masih asyik dengan permainan ciptaan Yahudi?
Yang membuat terlena dalam kesemua dan mematikan hati.
Dan habiskan waktu yang begitu berharga lebihi materi.
III
Kemuliaan?bukan jargon indah yang cukup dikatakan.
Ia butuh kekuatan dalam segala bagian yang dipersatukan.
Harus teguh dan ikhlaskan hati karena darah yang dikucurkan.
Sebagai perwujudan cinta kepada Ilahi yang harus dibuktikan.
Tiada kemuliaan pada kambing piaraan padang rumput nan hijau.
Begitu banyak, hanya mampu berlari bila datang sang harimau.
Menggigil takut bak terserang demam mengembik parau.
Dan singapun menatap penuh ejekan senda gurau.
IV
Putra Zaman, bukanlah mereka yang mudah terlena.
Tapi mereka sadar kepungan musuh sehingga selalu siaga.
Melatih diri dengan segenap kesulitan untuk dijadikan senjata.
'Tuk hadapi seberat apapun cobaan menghadang di depan mata.
Tiada lagi waktu untuk diam bagai tikus di atas lumbung padi.
Karena segala perangkat untuk bangkit telah Tuhan beri.
Tinggallah kesadaran dan kemauan didalam hati.
Merebut kemuliaan sebagai khalifah di bumi.
V
Putra Zaman! kini peperangan besar semakin dekat.
Musuh telah mengasah pedang penghancur tajam berkilat.
Yang akan merajai dunia hanya mereka yang unggul dan kuat.
Serta sekumpulan pasukan beriman yang dibantu oleh jutaan malaikat.
Adakah engkau ingin jadi bagian dari pertarungan akhir peradaban itu?
Ataukah usia akan dihabiskan dengan berpaling pada Yang Satu?
Kelak sesal akan datang saat dikubur sendiri bagai yatim piatu.
Dan kembali gagal harapan akan munculnya generasi baru.
Dan tak berarti walau hanya sebutir debu.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Rabu, 16 November 2011
296-2011. Pesan Untuk Generasi Baru (2)
296-2011. Pesan Untuk Generasi Baru (2)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Tulip-tulip muda dari kesunyian gurun sinai itu telah bangkit.
Teriakkan takbir yang menggema gentarkan puncak-puncak bukit.
Bergegas bangun dari tidur panjang bak mereka yang sembuh dari sakit.
Dan mencoba kobarkan api cinta di jazirah para Nabi walaupun hanya sedikit.
Kini, Para putra Salahuddin hunuskan pedang untuk sebuah kemuliaaan sejati.
Menghalau berhala firaun dan zionisme yang coba padamkan cahaya Ilahi.
Darah yang tertumpah?itu hanya sebuah wujud transaksi sesuai janji.
Tebarkan harumnya ke berbagai penjuru bak minyak kesturi.
II
Adakah kebangkitan itu kembali bak Quthuz hancurkan kesombongan Mongol di Ain Jalut?
Ataukah hanya milyaran serpih yang bagaikan buih tak berguna karena takut?
Atau kemenangan itu dicuri lagi karena diantara kita selalu ribut?
Sungguh kebanggaan dan kemuliaan ini telah tercabut.
Bak serpih, tulip muda dibuai permainan semu Tuhan teknologi.
Tanpa terasa masa emas hilang begitu cepat bak malam berganti pagi.
Menyia-nyiakan begitu banyak peluang dan kesempatan yang telah Tuhan beri.
Sehingga menjadi sesal yang panjang saat tubuh dan akal telah lemah dimasa tua nanti.
III
Wahai putra rajawali yang telah diberi panji-panji penguasa angkasa.
Betapa kini musuh-musuhmu duduk congkak diatas kelemahanmu sambil tertawa.
Berbual-bual menceritakan kebodohan milyaran umat yang begitu mudah dipecah belah.
Sehingga mereka bisa digiring kemana saja bagai sekumpulan domba yang tiada berdaya.
Masa muda, kala bunga-bunga mekar yang harumnya dirindukan para penghuni surgawi.
Hari ini adalah masa terbaik yang telah dikaruniakan Tuhan Sang Maha pemberi.
Jangan sia-siakan masa itu untuk bergembira ria dengan alunan kecapi.
Tapi jadikan ia masa untuk melatih segenap kemampuan diri.
IV
Bila dimasa muda engkau telah berlatih sekuat baja.
Kelak Ibarat kuncup itu telah layu dimakan zaman yang fana.
Engkau akan bertransformasi menjadi buah yang ranum dan berguna.
Menjadi sumber inspirasi yang akan selalu diingat oleh generasi selanjutnya.
Tiada waktu untuk berdiam memperbanyak tidur bagai beruang di musim dingin.
Jadilah burung pengembara ke berbagai negeri ikuti arus angin.
Tak pernah berhenti gapai apa pun yang ia ingin.
Sampai kelak bertemu dengan Haqqul Yaqiin.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Tulip-tulip muda dari kesunyian gurun sinai itu telah bangkit.
Teriakkan takbir yang menggema gentarkan puncak-puncak bukit.
Bergegas bangun dari tidur panjang bak mereka yang sembuh dari sakit.
Dan mencoba kobarkan api cinta di jazirah para Nabi walaupun hanya sedikit.
Kini, Para putra Salahuddin hunuskan pedang untuk sebuah kemuliaaan sejati.
Menghalau berhala firaun dan zionisme yang coba padamkan cahaya Ilahi.
Darah yang tertumpah?itu hanya sebuah wujud transaksi sesuai janji.
Tebarkan harumnya ke berbagai penjuru bak minyak kesturi.
II
Adakah kebangkitan itu kembali bak Quthuz hancurkan kesombongan Mongol di Ain Jalut?
Ataukah hanya milyaran serpih yang bagaikan buih tak berguna karena takut?
Atau kemenangan itu dicuri lagi karena diantara kita selalu ribut?
Sungguh kebanggaan dan kemuliaan ini telah tercabut.
Bak serpih, tulip muda dibuai permainan semu Tuhan teknologi.
Tanpa terasa masa emas hilang begitu cepat bak malam berganti pagi.
Menyia-nyiakan begitu banyak peluang dan kesempatan yang telah Tuhan beri.
Sehingga menjadi sesal yang panjang saat tubuh dan akal telah lemah dimasa tua nanti.
III
Wahai putra rajawali yang telah diberi panji-panji penguasa angkasa.
Betapa kini musuh-musuhmu duduk congkak diatas kelemahanmu sambil tertawa.
Berbual-bual menceritakan kebodohan milyaran umat yang begitu mudah dipecah belah.
Sehingga mereka bisa digiring kemana saja bagai sekumpulan domba yang tiada berdaya.
Masa muda, kala bunga-bunga mekar yang harumnya dirindukan para penghuni surgawi.
Hari ini adalah masa terbaik yang telah dikaruniakan Tuhan Sang Maha pemberi.
Jangan sia-siakan masa itu untuk bergembira ria dengan alunan kecapi.
Tapi jadikan ia masa untuk melatih segenap kemampuan diri.
IV
Bila dimasa muda engkau telah berlatih sekuat baja.
Kelak Ibarat kuncup itu telah layu dimakan zaman yang fana.
Engkau akan bertransformasi menjadi buah yang ranum dan berguna.
Menjadi sumber inspirasi yang akan selalu diingat oleh generasi selanjutnya.
Tiada waktu untuk berdiam memperbanyak tidur bagai beruang di musim dingin.
Jadilah burung pengembara ke berbagai negeri ikuti arus angin.
Tak pernah berhenti gapai apa pun yang ia ingin.
Sampai kelak bertemu dengan Haqqul Yaqiin.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Minggu, 13 November 2011
270-2011. Syair Untuk Kekasih (10)
270-2011. Syair Untuk Kekasih (10)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Setiap datang pada-Mu yang kubawa hanya hati duka.
Lelah mengejar mimpi yang hilang bak fatamorgana.
Bak sang musafir yang bingung kehilangan arah.
Tak tahu kemana kepedihan hati akan dibawa.
Cinta pada-Mu?ungkapan dusta yang hampa.
Betapa ia telah usang dilenakan godaan dunia.
Ia telah pergi bersama hati yang sabar dalam derita.
Dan lebih banyak terwujud dalam bentuk kata-kata.
II
Kekasih, tak tahu kemana lagi jalan yang harus kutempuh.
Hamba berjalan gontai bak musafir yang letih dan lusuh.
Bagai seorang prajurit yang kalah melawan musuh.
Betapa kini hati hamba-Mu telah hancur luluh.
Hamba datang padamu bawa baju yang kusam.
Debu hawa nafsu telah cemari kebersihan masa silam.
Membawa tangis dalam munajat kala malam telah kelam.
Memohon ampunan-Mu wahai Rob Sang Penguasa Alam.
III
Kekasih, hamba datang pada-Mu membawa pengakuan dosa.
Namun terhadap ampunan-Mu hamba tak berputus asa.
Untuk ampuni sebesar apapun dosa Engkau bisa.
Karena ditangan-Mu berkumpul segala kuasa.
Mungkin taubat berulang tiada bermakna.
Namun segala takut ini harus kuhadapkan kemana?
Menggigil diri bila ingat keadilan-Mu kelak di alam sana.
Wahai Ilahi, jangan jadikan diri ini hamba yang sedih dan merana.
IV
Dalam kitab suci-Mu Engkau nyatakan selalu pemberian ampunan.
Kepada pelanggar perintah yang suka tadahkan tangan.
Asalkan dihatinya masih ada cahaya keimanan.
Yang bertaubat sebelum tiba kematian.
Kekasih, hanya pada-Mu kupinta kekuatan.
'Tuk sadari hidup ini kelak berakhir dengan kefanaan.
Kembali pada-Mu dengan membawa bekal amal dan iman.
Dan berharap mendapat surga yang dikelilingi keindahan Taman.
Kekasih, hanya pada Engkaulah kami beriman.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Setiap datang pada-Mu yang kubawa hanya hati duka.
Lelah mengejar mimpi yang hilang bak fatamorgana.
Bak sang musafir yang bingung kehilangan arah.
Tak tahu kemana kepedihan hati akan dibawa.
Cinta pada-Mu?ungkapan dusta yang hampa.
Betapa ia telah usang dilenakan godaan dunia.
Ia telah pergi bersama hati yang sabar dalam derita.
Dan lebih banyak terwujud dalam bentuk kata-kata.
II
Kekasih, tak tahu kemana lagi jalan yang harus kutempuh.
Hamba berjalan gontai bak musafir yang letih dan lusuh.
Bagai seorang prajurit yang kalah melawan musuh.
Betapa kini hati hamba-Mu telah hancur luluh.
Hamba datang padamu bawa baju yang kusam.
Debu hawa nafsu telah cemari kebersihan masa silam.
Membawa tangis dalam munajat kala malam telah kelam.
Memohon ampunan-Mu wahai Rob Sang Penguasa Alam.
III
Kekasih, hamba datang pada-Mu membawa pengakuan dosa.
Namun terhadap ampunan-Mu hamba tak berputus asa.
Untuk ampuni sebesar apapun dosa Engkau bisa.
Karena ditangan-Mu berkumpul segala kuasa.
Mungkin taubat berulang tiada bermakna.
Namun segala takut ini harus kuhadapkan kemana?
Menggigil diri bila ingat keadilan-Mu kelak di alam sana.
Wahai Ilahi, jangan jadikan diri ini hamba yang sedih dan merana.
IV
Dalam kitab suci-Mu Engkau nyatakan selalu pemberian ampunan.
Kepada pelanggar perintah yang suka tadahkan tangan.
Asalkan dihatinya masih ada cahaya keimanan.
Yang bertaubat sebelum tiba kematian.
Kekasih, hanya pada-Mu kupinta kekuatan.
'Tuk sadari hidup ini kelak berakhir dengan kefanaan.
Kembali pada-Mu dengan membawa bekal amal dan iman.
Dan berharap mendapat surga yang dikelilingi keindahan Taman.
Kekasih, hanya pada Engkaulah kami beriman.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
295-2011. Renungan Musim (Hujan)
295-2011. Renungan Musim (Hujan)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Adalah hukum-Nya yang telah terjadi sejak bumi dicipta.
Simetri penciptaan makhluk selalu terbagi menjadi dua.
Pasangan yang diberi untuk pria adalah seorang wanita.
Disisi beratnya kesedihan Dia sandingkan rasa gembira.
Adalah musin berganti Dia datangkan secara bergantian.
Setelah berakhir musim kemarau datang musim hujan.
Semua bermanfaat bagi manusia, tumbuhan dan hewan.
Sungguh betapa ilmu Ilahi dalam segala kesempurnaan.
II
Dalam musim hujan begitu banyak makhluk yang diberkati.
Bijian-bijian tumbuh merekah bersama bersinarnya mentari.
Telur ikan menetas dan kodok keluar dari tempat sembunyi.
Dan para petani tersenyum karena mulai bisa bertanam padi.
Namun sebahagian manusia kehilangan rasa syukur atas nikmat.
Akibat keserakahan hutan-hutan penyimpan air habis dibabat.
Terjadi banjir yang melanda setelah datangnya hujan lebat.
Dan terjadilah musibah dan penderitaan yang begitu hebat.
III
Airmata dan ratapan terdengar dari mulut rakyat biasa.
Tatkala banjir membuat sawah ladang rusak binasa.
Halangi terjadinya penebangan liar mereka tak bisa.
Mereka hanya mampu mengadu pada Yang Kuasa.
Kepada alam harusnya ada prinsip keseimbangan.
Penebangan hendaknya diiringi dengan penanaman.
Sungai-sungai dijaga agar sampah tak buat kebajiran.
Tanah-tanah tidak ditutup beton agar tetap ada resapan.
IV
Dalam hujan betapa banyak makhluk yang beruntung.
Tumbuhan berbuah jadi makanan bagi burung-burung.
Pucuk-pucuk tumbuhan muda jadi makanan lutung.
Banyak sekali nikmat Ilahi yang tak mungkin dihitung.
Hujan membawa air yang bersih susuri kegelapan tanah.
Muncul memercik jernih dari mata air ke dataran rendah.
Menjadi pembersih bagi mereka yang suka beribadah.
Jadi penambah iman terhadap ciptaan Yang Maha Indah.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Adalah hukum-Nya yang telah terjadi sejak bumi dicipta.
Simetri penciptaan makhluk selalu terbagi menjadi dua.
Pasangan yang diberi untuk pria adalah seorang wanita.
Disisi beratnya kesedihan Dia sandingkan rasa gembira.
Adalah musin berganti Dia datangkan secara bergantian.
Setelah berakhir musim kemarau datang musim hujan.
Semua bermanfaat bagi manusia, tumbuhan dan hewan.
Sungguh betapa ilmu Ilahi dalam segala kesempurnaan.
II
Dalam musim hujan begitu banyak makhluk yang diberkati.
Bijian-bijian tumbuh merekah bersama bersinarnya mentari.
Telur ikan menetas dan kodok keluar dari tempat sembunyi.
Dan para petani tersenyum karena mulai bisa bertanam padi.
Namun sebahagian manusia kehilangan rasa syukur atas nikmat.
Akibat keserakahan hutan-hutan penyimpan air habis dibabat.
Terjadi banjir yang melanda setelah datangnya hujan lebat.
Dan terjadilah musibah dan penderitaan yang begitu hebat.
III
Airmata dan ratapan terdengar dari mulut rakyat biasa.
Tatkala banjir membuat sawah ladang rusak binasa.
Halangi terjadinya penebangan liar mereka tak bisa.
Mereka hanya mampu mengadu pada Yang Kuasa.
Kepada alam harusnya ada prinsip keseimbangan.
Penebangan hendaknya diiringi dengan penanaman.
Sungai-sungai dijaga agar sampah tak buat kebajiran.
Tanah-tanah tidak ditutup beton agar tetap ada resapan.
IV
Dalam hujan betapa banyak makhluk yang beruntung.
Tumbuhan berbuah jadi makanan bagi burung-burung.
Pucuk-pucuk tumbuhan muda jadi makanan lutung.
Banyak sekali nikmat Ilahi yang tak mungkin dihitung.
Hujan membawa air yang bersih susuri kegelapan tanah.
Muncul memercik jernih dari mata air ke dataran rendah.
Menjadi pembersih bagi mereka yang suka beribadah.
Jadi penambah iman terhadap ciptaan Yang Maha Indah.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Sabtu, 12 November 2011
294-2011. Makna Sebuah Pesta (Refleksi Sea Games)
294-2011. Makna Sebuah Pesta (Refleksi Sea Games)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Di Negeri ini sedang berlangsung sebuah pesta amat meriah.
Yang menurut berita habiskan dana Ratusan Milyar Rupiah.
Yang membuat dada mereka yang terlibat membuncah.
Dan Ribuan atlet dan official berdefile dengan gagah.
Begitu banyak komentar dari seluruh penjuru negeri.
Banyak yang mendukung, banyak pula yang apriori.
Pada pembukaan hadir Presiden serta Para Menteri.
Betapa ramai pembukaannya bak keramaian kenduri.
II
Di Lebak dekat jakabaring seorang petani kecil berkata.
Mengapa hujan yang di nanti-nanti tak juga kunjung tiba.
Rencana menanam bibit padi yang banyak menjadi tertunda.
Dan dalam masa menunggu hujan tiba lagi ia akan makan apa.
Seorang hamba Allah juga membuka sebuah wacana renungan.
Apakah untuk sebuah pesta harus begitu banyak pengorbanan.
Kendaraan truk pengangkut sembakopun dilarang lewati jalan.
Sungguh sebuah pesta bertabur begitu banyak kemewahan.
III
Api, sebagai perlambang penyembahan tertua dalam sejarah.
Di arak keliling negeri lewati selat dan pulau berbagai wilayah.
Disambut disemua perbatasan dengan cara-cara yang megah.
Walau masih sangat banyak rakyat miskin yang begitu payah.
Inikah wujud dari antroposentisme peradaban akhir zaman?
Kala manusia dipesona teknologi berorientasi kesenangan.
Yang menjadu ukuran bukan lagi ketaqwaan pada Tuhan.
Namun prestasi akal dan duniawi dalam bentuk kekuatan.
IV
Adakah yang didapat dari rasa bangga menjadi juara.
Kecuali hanya tepukan tangan dan pujian semata.
Ketika tak berprestasi lagi dibiarkan hidup duafa.
Seperti yang terlihat pada siaran-siaran berita.
Begitu banyak kesenangan pada sebuah pesta.
Walaupun demi itu begitu banyak yang menderita.
Orang-orang yang tak mampu hanya cucurkan airmata.
Dan akhir dari pesta yang begitu mahal hanya kumpulan cerita.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Di Negeri ini sedang berlangsung sebuah pesta amat meriah.
Yang menurut berita habiskan dana Ratusan Milyar Rupiah.
Yang membuat dada mereka yang terlibat membuncah.
Dan Ribuan atlet dan official berdefile dengan gagah.
Begitu banyak komentar dari seluruh penjuru negeri.
Banyak yang mendukung, banyak pula yang apriori.
Pada pembukaan hadir Presiden serta Para Menteri.
Betapa ramai pembukaannya bak keramaian kenduri.
II
Di Lebak dekat jakabaring seorang petani kecil berkata.
Mengapa hujan yang di nanti-nanti tak juga kunjung tiba.
Rencana menanam bibit padi yang banyak menjadi tertunda.
Dan dalam masa menunggu hujan tiba lagi ia akan makan apa.
Seorang hamba Allah juga membuka sebuah wacana renungan.
Apakah untuk sebuah pesta harus begitu banyak pengorbanan.
Kendaraan truk pengangkut sembakopun dilarang lewati jalan.
Sungguh sebuah pesta bertabur begitu banyak kemewahan.
III
Api, sebagai perlambang penyembahan tertua dalam sejarah.
Di arak keliling negeri lewati selat dan pulau berbagai wilayah.
Disambut disemua perbatasan dengan cara-cara yang megah.
Walau masih sangat banyak rakyat miskin yang begitu payah.
Inikah wujud dari antroposentisme peradaban akhir zaman?
Kala manusia dipesona teknologi berorientasi kesenangan.
Yang menjadu ukuran bukan lagi ketaqwaan pada Tuhan.
Namun prestasi akal dan duniawi dalam bentuk kekuatan.
IV
Adakah yang didapat dari rasa bangga menjadi juara.
Kecuali hanya tepukan tangan dan pujian semata.
Ketika tak berprestasi lagi dibiarkan hidup duafa.
Seperti yang terlihat pada siaran-siaran berita.
Begitu banyak kesenangan pada sebuah pesta.
Walaupun demi itu begitu banyak yang menderita.
Orang-orang yang tak mampu hanya cucurkan airmata.
Dan akhir dari pesta yang begitu mahal hanya kumpulan cerita.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Minggu, 06 November 2011
293-2011. Hakekat Qurban
293-2011. Hakekat Qurban
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Hari ini darah hewan tertumpah sebagai perlambang cinta.
Manifestasi iman dalam wujud pemberian pada sesama.
Berbagi rezeki dengan mereka yang hidup dalam tiada.
Dengan janji imbalan disisi Allah yang berlipat ganda.
Di berbagai tempat kaum duafa hadir kegembiraan.
Merasakan daging seperti mereka yang berkecukupan.
Begitu ceria anak-anak yang rasakan lezatnya makanan.
Sungguh indah sekali hakekat berqurban dalam kehidupan.
II
Bagi mereka yang berkurban balasannya sungguh nyata.
Rezeki dan hartanya setiap tahun pasti akan ditambah.
Dijauhkan Allah dari sifat kikir yang sangat tercela.
Serta ditambah kesadaran bahwa dunia ini fana.
Tiada kerugian sedikitpun orang yang berkurban.
Karena yang dikerjakannya adalah perintah Tuhan.
Yang tiada satu makhluk mampu berbagi kekuasaan.
Yang tidak ada dari ciptaannya apapun Dia butuhkan.
III
Menyembelih hewan qurban hanya sedikit bukti keimanan.
Yang bila tidak dikerjakan manusia akan alami kerugian.
Akan diambil Allah hartanya melalui berbagai jalan.
Dan nantinya akan lebih banyak dari harga hewan.
Bagi yang sadar, saat terlahir tak punya apa-apa.
Diberi Allah rezeki yang banyak dengan berbagai cara.
Mengapa berhitung untuk sedikit dikembalikan pada-Nya.
Sebagai bukti keimanan dan kecintaan dari seorang hamba.
IV
Tatkala sifat-sifat yang kikir terpelihara dalam dada manusia.
Yang dihitungnya adalah pendekatan sangat matematika.
Yang tak sadar saat datang ke dunia tanpa apa-apa.
Dan kembali pada-Nya sebagai mayat tanpa jiwa.
Kelak,kala sendiri di kubur ia pasti akan menyesal.
Mengapa saat di dunia terlalu sedikit kumpulkan bekal.
Namun sesal akherat itu abadi tiada akhir dan tiada awal.
Hanya bisa harapkan kasih sayang dari Allah Sang Maha Kekal.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
II
Rabu, 02 November 2011
292-2011. Ibu, Dengarlah Kerinduanku (3)
292-2011. Ibu, Dengarlah Kerinduanku (3)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Ibu, sebentar lagi lebaran idhul adha hampir tiba.
Teringat masa kecilku saat datang merengek manja.
Tanyakan baju baru untuk pergi silaturahmi ke tetangga.
Serta pergi jalan-jalan dengan teman diselingi tawa dan canda.
Tatkala malam pergi ke mesjid dengan teman-teman takbiran.
Mikrofon dan pemukul beduk selalu jadi bahan rebutan.
Rasanya begitu bangga mendengar irama pukulan.
Sungguh masa kecil yang membahagiakan.
II
Ibu, menetes deras air mataku kala teringat.
Kala lebaran kau pakai baju yang telah lama dibuat.
Demi bahagia anakmu berbaju baru pun ibu tak sempat.
Sungguh perjuangan yang berhiaskan tangisan dan keringat.
Tiada duka dan kesedihan di wajah teduhmu yang terpancar.
Tapi sorotan mata tulusmu tak mungkin menghindar.
Dan beningnya air mata kelopak mata yang tergetar.
Kala ziarahi ayah yang tak iringi kami sampai besar.
III
Ibu, Lebaran idhul adha tahun ini kita tak bersama.
Tapi untuk akan selalu nanda panjatkan untaian doa.
Agar ibu diberi usia panjang dan kesehatan yang prima.
Dan selalu berada dalam kehidupan penuh iman dan taqwa.
Maafkan anaku yang terkadang lalai dalam kasih sayang.
Dalam jiwa terdalamku ibunda tak pernah hilang.
Ibunda selalu ada dan setiap saat terbayang.
Di tengah sepinya malam ataupun siang.
IV
Ibu, teringat kala takbir berkumandang.
Menangis aku kala mengenang masa yang hilang.
Bersamamu jalani hari-hari dari masa kecil yang panjang.
Sampai anakmu hadapi tantangan hidup yang luas terbentang.
Ibu, maafkan daku selama ada waktu untuk ucapkan kata itu.
Ikhlaskan segenap perjuanganmu menjaga hidupku.
Berikan doa dan restu agar selalu lurus jalanku.
Moga kelak di dalam ridho-Nya kita bersatu.
Ibu, anakmu rindu.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Ibu, sebentar lagi lebaran idhul adha hampir tiba.
Teringat masa kecilku saat datang merengek manja.
Tanyakan baju baru untuk pergi silaturahmi ke tetangga.
Serta pergi jalan-jalan dengan teman diselingi tawa dan canda.
Tatkala malam pergi ke mesjid dengan teman-teman takbiran.
Mikrofon dan pemukul beduk selalu jadi bahan rebutan.
Rasanya begitu bangga mendengar irama pukulan.
Sungguh masa kecil yang membahagiakan.
II
Ibu, menetes deras air mataku kala teringat.
Kala lebaran kau pakai baju yang telah lama dibuat.
Demi bahagia anakmu berbaju baru pun ibu tak sempat.
Sungguh perjuangan yang berhiaskan tangisan dan keringat.
Tiada duka dan kesedihan di wajah teduhmu yang terpancar.
Tapi sorotan mata tulusmu tak mungkin menghindar.
Dan beningnya air mata kelopak mata yang tergetar.
Kala ziarahi ayah yang tak iringi kami sampai besar.
III
Ibu, Lebaran idhul adha tahun ini kita tak bersama.
Tapi untuk akan selalu nanda panjatkan untaian doa.
Agar ibu diberi usia panjang dan kesehatan yang prima.
Dan selalu berada dalam kehidupan penuh iman dan taqwa.
Maafkan anaku yang terkadang lalai dalam kasih sayang.
Dalam jiwa terdalamku ibunda tak pernah hilang.
Ibunda selalu ada dan setiap saat terbayang.
Di tengah sepinya malam ataupun siang.
IV
Ibu, teringat kala takbir berkumandang.
Menangis aku kala mengenang masa yang hilang.
Bersamamu jalani hari-hari dari masa kecil yang panjang.
Sampai anakmu hadapi tantangan hidup yang luas terbentang.
Ibu, maafkan daku selama ada waktu untuk ucapkan kata itu.
Ikhlaskan segenap perjuanganmu menjaga hidupku.
Berikan doa dan restu agar selalu lurus jalanku.
Moga kelak di dalam ridho-Nya kita bersatu.
Ibu, anakmu rindu.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Selasa, 01 November 2011
291-2011. Ibu, Dengarlah Kerinduanku (2)
291-2011. Ibu, Dengarlah Kerinduanku (2)
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Ibu,
Tahun-tahun kehidupan kita akan segera berganti.
Namun kenangan indah yang membekas dalam jiwa tetap abadi.
Tatapan nan lembut penuh kasih sayang darimu tetap warnai hari-hari.
Sungguh sebuah keindahan tiada tara yang kelak akan kubawa sampai mati.
Di kerentaan usia yang semakin sepuh langkahmu mulai gemetar dan tertatih.
Rambutmu yang dulu begitu hitam kini telah dipenuhi uban memutih.
Suaramu lembutmu yang begitu kurindukan kini semakin lirih.
Dan sering kudengar nafasmu telah mulai terdengar jerih.
II
Ibu, dalam tidur nyenyakmu kadang kudengar sedan.
Maafkan anakmu kalau terkadang masih hampirkan kesedihan.
Daku tak tahu keperihan apa yang begitu rapi engkau sembunyikan.
Yang tak pernah kau ungkap pada anakmusampai nyawa berpisah badan.
Maafkan daku kalau tak tahu bagaimana cara untuk membuatmu bahagia.
Maafkan daku mana kala tanpa sengaja salah dalam kata-kata.
Maafkan daku tak mampu sembunyikan kepedihan dimata.
Sebagai jendelamu untuk tahu anakmu berdusta.
III
Ibu, dalam rentang tahun tatkala daku makin menua.
Betapa kusadari banyaknya hal yang harus ditahan dalam dada.
Betapa kesepian dan kesendirian hidup harus dijalani oleh setiap jiwa.
Sampai kelak setiap insan harus menghadap-Nya kembali ke alam baqa.
Ibu, tahun-tahun kehidupan yang kulalui mulai menuju ke masa senja.
Betapa sering kurasakan goresan bagaikan duri tajam didalam dada.
Membuatku teringat padamu saat dalam diam keluar air mata.
Dan sesenggukan dalam kesendirian sebagai manusia.
IV
Ibu, maafkan anakmu yang kurang berbakti dimasa tua.
Beban hidup yang kulalui membuat diri sibuk dengan dunia.
Kewajibanku membuat anakmu siang dan malam harus bekerja.
Karena tanggungjawab yang dibebankan pada anakmu sebagai ayah.
Di senja usiamu, tetap kumintakan tanganmu tertadah dalam doa.
Agar anakmu diberi Allah keselamatan di akherat dan dunia.
Dianugrahkan-Nya jalan kebaikan orang-orang yang mulia.
Serta menghadap-Nya sebagai hamba yang bahagia.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan
Oleh
Hamdi Akhsan
I
Ibu,
Tahun-tahun kehidupan kita akan segera berganti.
Namun kenangan indah yang membekas dalam jiwa tetap abadi.
Tatapan nan lembut penuh kasih sayang darimu tetap warnai hari-hari.
Sungguh sebuah keindahan tiada tara yang kelak akan kubawa sampai mati.
Di kerentaan usia yang semakin sepuh langkahmu mulai gemetar dan tertatih.
Rambutmu yang dulu begitu hitam kini telah dipenuhi uban memutih.
Suaramu lembutmu yang begitu kurindukan kini semakin lirih.
Dan sering kudengar nafasmu telah mulai terdengar jerih.
II
Ibu, dalam tidur nyenyakmu kadang kudengar sedan.
Maafkan anakmu kalau terkadang masih hampirkan kesedihan.
Daku tak tahu keperihan apa yang begitu rapi engkau sembunyikan.
Yang tak pernah kau ungkap pada anakmusampai nyawa berpisah badan.
Maafkan daku kalau tak tahu bagaimana cara untuk membuatmu bahagia.
Maafkan daku mana kala tanpa sengaja salah dalam kata-kata.
Maafkan daku tak mampu sembunyikan kepedihan dimata.
Sebagai jendelamu untuk tahu anakmu berdusta.
III
Ibu, dalam rentang tahun tatkala daku makin menua.
Betapa kusadari banyaknya hal yang harus ditahan dalam dada.
Betapa kesepian dan kesendirian hidup harus dijalani oleh setiap jiwa.
Sampai kelak setiap insan harus menghadap-Nya kembali ke alam baqa.
Ibu, tahun-tahun kehidupan yang kulalui mulai menuju ke masa senja.
Betapa sering kurasakan goresan bagaikan duri tajam didalam dada.
Membuatku teringat padamu saat dalam diam keluar air mata.
Dan sesenggukan dalam kesendirian sebagai manusia.
IV
Ibu, maafkan anakmu yang kurang berbakti dimasa tua.
Beban hidup yang kulalui membuat diri sibuk dengan dunia.
Kewajibanku membuat anakmu siang dan malam harus bekerja.
Karena tanggungjawab yang dibebankan pada anakmu sebagai ayah.
Di senja usiamu, tetap kumintakan tanganmu tertadah dalam doa.
Agar anakmu diberi Allah keselamatan di akherat dan dunia.
Dianugrahkan-Nya jalan kebaikan orang-orang yang mulia.
Serta menghadap-Nya sebagai hamba yang bahagia.
Al Faqiir
Hamdi Akhsan